Pengertian Tasawuf

TASAWUF
Oleh: Muhsin Hariyanto 

Tujuan  tasawuf  adalah  mendekatkan  diri  sedekat  mungkin dengan  Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan. Filsafat  yang menjadi  dasar  pendekatan  diri  itu adalah, pertama, Tuhan bersifat ruhani, maka bagian  yang  dapat  mendekatkan  diri dengan Tuhan adalah ruh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah ruh  yang  suci.  Tasawuf  adalah ilmu yang membahas masalah  pendekatan  diri  manusia  kepada   Tuhan   melalui penyucian ruhnya.
 
Asal Kata Sufi
 
Tidak  mengherankan  kalau  kata  sufi dan tasawuf dikaitkan dengan   kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
 
1.       Shafa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2.      Shaf (baris). Yang dimaksud shaf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Shaf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Quran dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha    membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3.      Ahl al-Shuffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai shuffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Shuffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4.      Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5.      Shuf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
 
Di antara semua pendapat itu, pendapat terakhir  inilah  yang banyak  diterima  sebagai  asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol  kasar  untuk  menjauhkan  diri  dari dunia  materi  dan  memusatkan  perhatian  pada alam ruhani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H). 

Asal-Usul Tasawuf 

Karena   tasawuf  timbul  dalam  Islam  sesudah  umat  Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat  Yunani  dan agama  Hindu  dan  Buddha,  muncullah  anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
 
Ada  yang   mengatakan   bahwa   pengaruhnya   datang   dari rahib-rahib  Kristen  yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan  di  gurun  pasir  Arabia. Tempat  mereka  menjadi  tujuan  orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang  hari,  kemah  mereka  menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu  mereka   menjadi   petunjuk   jalan   bagi   musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
 
Pengaruh  filsafat  Yunani  dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam  filsafatnya,  ruh  manusia  adalah suci  dan  berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang  bernafsu. Ruh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia  harus  menyucikan  diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat  serta  ilmu  pengetahuan  dan  melakukan  beberapa pantangan.  Filsafat  sufi  juga demikian. Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam ruhani yang suci, tapi  kemudian  dipengaruhi  oleh  hawa  nafsu  yang terdapat dalam  tubuh  manusia.  Maka  untuk  dapat  bertemu dengan  Tuhan  Yang  Maha  Suci,  ruh  yang  telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
 
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh  itu  dikaitkan  dengan filsafat  emanasi Plotinus. Ruh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi,  sama  dengan  Pythagoras,  dia berpendapat bahwa ruh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama  masih  kotor, ia  akan  tetap  tinggal  di bumi berusaha membersihkan diri melalui  reinkarnasi.   Kalau   sudah   bersih,   ia   dapat mendekatkan  diri  dengan  Tuhan  sampai  ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
 
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat  dalam  ajaran  tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Quran bahwa ruh, sesudah tubuh mati tidak  akan  kembali ke  hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, ruh pergi ke alam barzah menunggu  datangnya  hari  perhitungan. Tetapi, konsep Plotinus tentang bersatunya ruh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
 
Dari  agama  Buddha,  pengaruhnya  dikatakan   dari   konsep Nirwana.  Nirwana  dapat  dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan  menghancurkan  diri.  Ajaran menghancurkan  diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama  Hindu  dikatakan datang  dari  ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi  dan  menjauhi  dunia  materi.   Dalam   tasawuf terdapat  pengalaman  ittihad,  yaitu  persatuan ruh manusia dengan ruh Tuhan.
 
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan  agama  Kristen  datang  lama  sebelum Islam. Bahwa yang kemudian  datang  dipengaruhi  oleh  yang  datang  terdahulu adalah   suatu   kemungkinan.   Tapi   pendapat  serupa  ini memerlukan bukti-bukti historis.  Dalam  kaitan  ini  timbul pertanyaan:  sekiranya  ajaran-ajaran  tersebut di atas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam  diri  Islam sendiri?
 
Hakikat  tasawuf  kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam  ajaran  Islam,  Tuhan  memang  dekat  sekali   dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Quran dan Hadis. Ayat 186 dari  surat  al-Baqarah  mengatakan,  "Jika hambaKu  bertanya  kepadamu  tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
 
Kaum sufi mengartikan  do'a  disini  bukan  berdo'a,  tetapi berseru,  agar  Tuhan  mengabulkan  seruannya  untuk melihat Tuhan dan berada dekat  kepada-Nya.  Dengan  kata  lain,  ia berseru  agar  Tuhan  membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru.  Tentang  dekatnya  Tuhan,  digambarkan oleh  ayat  berikut,  "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ  ada  wajah  Tuhan"  (QS. al-Baqarah  115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak  perlu  pergi jauh, untuk menjumpainya.
 
Ayat  berikut  menggambarkan  lebih  lanjut  betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan  Kami tahu  apa  yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh  darah  yang  ada  di lehernya  (QS.  Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia,  tetapi  di  dalam  diri  manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."
 
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu  pergi  jauh;  cukup  ia masuk  kedalam  dirinya  dan  Tuhan  yang  dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya  sendiri.  Dalam  konteks  inilah  ayat berikut  dipahami  kaum  sufi,  "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang  membunuh  dan  bukanlah  engkau yang   melontarkan  ketika  engkau  lontarkan  (pasir)  tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
 
Disini,  sufi  melihat  persatuan  manusia   dengan   Tuhan. Perbuatan  manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga  kepada  makhluk  lain sebagaimana  dijelaskan  hadis  berikut,  "Pada  mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku  ingin  dikenal. Maka   Kuciptakan   makhluk,   dan  melalui  mereka  Aku-pun dikenal."
 
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk  bersatu,  dan bukan   manusia   saja  yang  bersatu  dengan  Tuhan.  Kalau ayat-ayat di atas mengandung arti ittihad, persatuan  manusia dengan  Tuhan,  hadis terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan. 
 
Demikianlah ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi menggambarkan  betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain.  Gambaran  serupa  ini  tidak memerlukan  pengaruh  dari  luar  agar  seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan  itu.  Dengan  khusuk  dan  banyak beribadat  ia  akan  merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya  mengalami  persatuan ruhnya dengan ruh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
 
Jalan Pendekatan Diri Kepada Tuhan
 
Jalan  yang  ditempuh  seseorang  untuk  sampai  ke  tingkat melihat  Tuhan  dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun  orang harus  menempuh  jalan  yang  sulit  itu.  Karena  itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan  itu  disebut  thariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.
 
Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri,  dibagi  kaum sufi ke dalam stasiun-stasiun yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil  berusaha keras   untuk   membersihkan  diri  agar  dapat  melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya. Sebagaimana telah di sebut di atas  penyucian  diri  diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Quran dan dzikir.  Maka,  seorang calon  sufi  banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
 
Jelas  kiranya  bahwa  usaha penyucian diri, langkah pertama yang   harus   dilakukan   seseorang   adalah   tobat   dari dosa-dosanya.  Karena  itu,  stasiun  pertama  dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon  sufi  harus  tobat dari  dosa-dosa  besar  yang  dilakukannya  Kalau  ia  telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa  kecil, kemudian   dari   perbuatan   makruh  dan  selanjutnya  dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat  dosa  lagi  walau sekecil  apapun.  Jelaslah  bahwa  usaha  ini  memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasiun kedua, yaitu zuhud.  Di  stasiun ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri  ke  tempat  terpencil untuk   beribadat,  puasa,  shalat,  membaca  al-Quran  dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat  hawa  nafsunya  lemah, dan  membuat  ia  tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk  mempertahankan  kelanjutan  hidup.  Ia  sedikit tidur  dan  banyak  beribadat.  Pakaiannyapun  sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak  bisa  lagi digoda  oleh  kesenangan  dunia  dan  kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan  ruhani,  dan  itu  diperolehnya dalam  berpuasa,  melakukan  shalat,  membaca  al-Quran dan berdzikir.
 
Kalau  kesenangan  dunia  dan  kelezatan  materi  tak   bisa menggodanya   lagi,  ia  keluar  dari  pengasingannya  masuk kembali  ke  dunianya  semula.  Ia  terus  banyak  berpuasa, melakukan  shalat,  membaca al-Quran dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia  ke  stasiun  wara'.  Di stasiun  ini  ia  dijauhkan  Tuhan  dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut  bahwa  al-Muhasibi menolak  makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah  makanan  yang berisi syubhat.
 
Dari  stasiun  wara',  ia pindah ke stasiun faqr. Di stasiun ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan  hidupnya  hanya sedikit  dan  ia  tidak  meminta  kecuali  hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.  Bahkan  ia  tidak meminta  sungguhpun  ia  tidak  punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
 
Setelah menjalani  hidup  kefakiran  ia  sampai  ke  stasiun sabar.    Ia    sabar    bukan   hanya   dalam   menjalankan perintah-perintah   Tuhan   yang    berat    dan    menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima  percobaan-percobaan  berat  yang  ditimpakan Tuhan  kepadanya.  Ia  bukan hanya tidak meminta pertolongan dari  Tuhan,  bahkan  ia  tidak  menunggu-nunggu   datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
 
Selanjutnya  ia  pindah  ke stasiun tawakkal. Ia menyerahkan diri  sebulat-bulatnya  kepada  kehendak  Tuhan.  Ia   tidak memikirkan  hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya.  Ia bersikap seperti telah mati.
 
Dari  stasiun  tawakkal, ia meningkat ke stasiun ridla. Dari stasiun ini ia tidak menentang percobaan dari  Tuhan  bahkan ia  menerima  dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan  dari  neraka.  Di  dalam  hatinya  tidak  ada perasaan  benci,  yang  ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya  merasa  senang  dan  di  dalamnya bergelora  rasa  cinta  kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan  dengan  hati  nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
 
Karena  stasiun-stasiun  tersebut  di  atas  baru  merupakan tempat   penyucian  diri  bagi  orang  yang  memasuki  jalan tasawuf, ia sebenarnya  belumlah  menjadi  sufi,  tapi  baru menjadi  zahid  atau  calon  sufi.  Ia  menjadi sufi setelah sampai ke stasiun berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
 
Pengalaman Sufi
 
Di masa awal perjalanannya,  calon  sufi  dalam  hubungannya dengan  Tuhan  dipengaruhi  rasa  takut  atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah  menjadi  rasa waswas  apakah  tobatnya  diterima  Tuhan  sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati  Tuhan.  Lambat  laun  ia rasakan  bahwa  Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya.  Rasa  takut  hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasiun ridla,  rasa  cinta  kepada  Tuhan  bergelora  dalam hatinya.  Maka  ia  pun  sampai  ke  stasiun mahabbah, cinta Ilahi.  Sufi  memberikan  arti  mahabbah  sebagai   berikut, pertama,  memeluk  kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga,    Mengosongkan  hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
 
Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan  dalam al-Quran  terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba  kepada  Tuhan.  Ayat  54  dari surat  al-Maidah,  "Allah  akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu cinta kepada  Tuhan,  maka  turutlah  Aku,  dan  Allah  akan mencintai kamu."
 
Hadis  juga  menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut, "Senantiasa  hamba-Ku  mendekatkan  diri  kepada-Ku  melalui ibadat  sehingga  Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya." 
 
Sufi yang masyhur dalam sejarah  tasawuf  dengan  pengalaman cinta  adalah  seorang  wanita  bernama  Rabi'ah al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah.  Cintanya  yang  dalam  kepada  Tuhan memalingkannya  dari  segala  yang  lain  dari  Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta  dijauhkan  dari  neraka  dan  pula tidak  meminta  dimasukkan  ke  surga.  Yang ia pinta adalah dekat kepada Tuhan.  Ia  mengatakan,  "Aku  mengabdi  kepada Tuhan  bukan  karena  takut kepada neraka, bukan pula karena ingin  masuk  surga,  tetapi  aku  mengabdi  karena  cintaku kepada-Nya."  Ia  bermunajat,  "Tuhanku,  jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku  karena  Engkau, janganlah  sembunyikan  keindahan-Mu  yang  kekal  itu  dari pandanganku."
 
Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku,  bintang  di langit   telah   gemerlapan,   mata-mata  telah  bertiduran, pintu-pintu  istana  telah  dikunci,  tiap   pecinta   telah berduaan  dengan  yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan  rasa  cemas mengucapkan,  "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga  aku  bahagia,  ataukah  Engkau  tolak sehingga aku merasa  sedih.  Demi  keMahakuasaan-Mu  inilah   yang   akan kulakukan  selama  Engkau  beri  hajat  kepadaku.  Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."
 
Pernah  pula  ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi.  Beri  ampunlah  pembuat  dosa  yang   datang   ke hadiratMu,  Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau."  Begitu  penuh hatinya  dengan  rasa  cinta  kepada  Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada  setan,  ia menjawab,  "Cintaku  kepada  Tuhan  tidak meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan."
 
Cinta  tulus  Rabi'ah  al-'Adawiah  kepada  Tuhan,  akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:
 
Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku
Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
 
Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasiun sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasiun  yang  menjadi  idaman kaum  sufi.  Dengan  kata  lain,  Rabi'ah  al-'Adawiah telah benar-benar menjadi sufi.
 
Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M).  Ma'rifah  adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh  mencintai  Tuhan.  Karena  cinta ikhlas  dan  suci  itulah  Tuhan  mengungkapkan  tabir  dari pandangan sufi dan dengan  terbukanya  tabir  itu  sufi  pun dapat  menerima  cahaya  yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang  abadi.  Ketika  Zunnun  ditanya, bagaimana  ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."
 
Yang  dimaksud  Zunnun  ialah  bahwa  ia memperoleh ma'rifah karena  kemurahan  hati   Tuhan.   Sekiranya   Tuhan   tidak membukakan  tabir  dari  mata  hatinya,  ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur  tasawuf, sufi  berusaha  keras  mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan  rahmat-Nya  dari  atas.  Juga  dikatakan   bahwa ma'rifah  datang  ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
 
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai  alat  bukan  akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya,  pertama,  daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang  disebut  ruh.  Ketiga  daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
 
Sirr  adalah  daya  terpeka  dari  kalbu dan daya ini keluar setelah sufi  berhasil  menyucikan  jiwanya  sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa  dibersihkan  dan  digosok  akan  mempunyai  daya tangkap  yang  besar.  Demikian  juga  jiwa,  makin  lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar  daya  tangkapnya,  sehingga  akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu  sufi  pun bergemilang   dalam   cahaya   Tuhan   dan   dapat   melihat rahasia-rahasia Tuhan.  Karena  itu  al-Ghazali  mengartikan ma'rifat,  "Melihat  rahasia-rahasia  Tuhan  dan  mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
 
Kata ma'rifat  memang  mengandung  arti  pengetahuan.  Maka, ma'rifat  dalam  tasawuf  berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan  ini  disebut ilm   ladunni.   Ma'rifah  berbeda  dengan  'ilm'Ilm  ini diperoleh   melalui   akal.   Dalam   pendapat   al-Ghazali, pengetahuan  yang  diperoleh  melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang  diperoleh  melalui  akal, yaitu   'ilm.  Sebelum  menempuh  jalan  tasawuf  al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi,  menurut  al-Ghazali,  setelah mencapai  ma'rifah,  keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
 
Lebih  jauh  mengenai  ma'rifah  dalam   literatur   tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya  akan tertutup  dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi  melihat  ke  cermin  itu yang  akan  dilihatnya  hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang  'arif,  baik  sewaktu  tidur  maupun  sewaktu  bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap.  Semua  orang  yang memandangnya    akan   mati   karena   tak   tahan   melihat kecemerlangan dan keindahannya.
 
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya  akan  dipenuhi  kalbunya  dengan  rasa  cinta  yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi  merasa tidak  puas  dengan  stasiun  ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami  persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad. Pengalaman  ittihad   ini  ditonjolkan  oleh  Abu  Yazid  al-Bustami   (w.  874 M).  Ucapan-ucapan  yang  ditinggalkannya menunjukkan  bahwa  untuk  mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama.  Seseorang  pernah  bertanya kepada   Abu  Yazid  tentang  perjuangannya  untuk  mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu telah  lebih  dari  tujuh  puluh  tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh  tahunlah  ia  baru  sampai  ke stasiun ittihad.
 
Sebelum  sampai  ke  ittihad,  seorang  sufi  harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah  “hancur”,  sedangkan  baqa'  berarti  “tinggal”.  Sesuatu di dalam diri sufi akan fana’ atau  hancur  dan  sesuatu  yang lain   akan  baqa’  atau  tinggal.  Dalam  literatur  tasawuf disebutkan,  orang  yang  fana’  dari  kebodohan  akan   baqa’ (tinggal)  ilmu  dalam dirinya; orang yang fana’ dari maksiat akan baqa, (tinggal) takwa dalam  dirinya.  Dengan  demikian, yang  tinggal  dalam  dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan  sesuatu  yang  lain  akan  timbul sebagai  gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul  sifat  baik.  Hilang  maksiat  akan timbul takwa.
 
Untuk   sampai   ke  ittihad,  sufi  harus  terlebih  dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafzhi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi  terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa’, bi 'l-Lah, dengan arti (bila) kesadaran tentang diri sendiri  hancur  dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
 
Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui  Tuhan melalui  diriku hingga aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup.  Sedangkan mengenai  fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku mati.  Kemudian  Ia  membuat aku  gila  kepada  diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan  gila  pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
 
Dalam  menjelaskan  pengertian  fana',  al-Qusyairi menulis, "Fana’nya  seseorang  dari  dirinya  dan  dari  makhluk  lain terjadi  dengan  hilangnya  kesadaran  tentang  dirinya  dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap  ada,  demikian  pula makhluk  lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi  tentang  dirinya  dan  makhluk lain  lenyap  dan  pergi  ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad."
 
Ketika sampai ke  ambang  pintu  ittihad  dari  sufi  keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang  dalam  istilah sufi disebut syathahât (jama’) – mufrad: syathhah -- (ucapan  teopatis).  Syathahat  yang  diucapkan  Abu Yazid,  antara  lain,  sebagai  berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku  tidak.  Aku  hanya  mengucapkan,  tiada Tuhan selain Allah."
 
Abu  Yazid  tobat  dengan  lafadz  syathahât demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan  masih  jauh  dari  sufi  dan berada  di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan,  berhadapan  langsung  dengan  Tuhan  dan  mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.
 
Dia  juga  mengucapkan,  "Aku  tidak  heran  melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba  yang  hina.  Tetapi  aku heran  melihat  cinta-Mu  padaku,  karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa."
 
Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam  Abu  Yazid telah  dibalas  Tuhan.  Lalu,  dia  berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan." 
 
Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari  Tuhan dan  pula  tidak  meminta  dijauhkan  dari  neraka  dan yang dikehendakinya hanyalah  berada  dekat  dan bersatu  dengan Tuhan.  Dalam  mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?"
 
Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah."  Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana’, baqa' dan ittihad.
 
Masalah ittihad, Abu Yazid  menggambarkan  dengan  kata-kata berikut  ini,  "Pada  suatu  ketika  aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid,  makhluk-Ku  ingin  melihat engkau.  Aku  menjawab,  kekasih-Ku,  aku  tak ingin melihat mereka.  Tetapi  jika  itu  kehendak-Mu,  aku  tak   berdaya menentang-Mu.  Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku,  mereka  akan  berkata,  telah  kami lihat  Engkau.  Tetapi  yang  mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."
 
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu."  Permintaan Abu   Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan, sebagaimana  terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  "Abu Yazid,  semuanya  kecuali  engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."
 
Dalam  literatur  tasawuf  disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal  ini  juga  dialami  Abu  Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog  pun  terputus,  kata  menjadi
satu,  bahkan  seluruhnya  menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab  melalui  diri-Nya  "Hai Aku."  Ia  berkata  kepadaku,  "Engkaulah  Yang  Satu."  Aku menjawab, "Akulah  Yang  Satu."  Ia  berkata  lagi,  "Engkau adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."
 
Yang  penting  diperhatikan  dalam  ungkapan  di atas  adalah kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (fa qultu bihi).   Kata-kata  bihi  -melalui  diri-Nya-  menggambarkan bersatunya Abu Yazid  dengan  Tuhan,  ruhnya  telah  melebur dalam  diri  Tuhan.  Ia  tidak  ada  lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang  Satu"  bukan  Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
 
Dalam  arti  serupa  inilah  harus  diartikan kata-kata yang diucapkan lidah  sufi  ketika  berada  dalam  ittihad  yaitu kata-kata  yang  pada  lahirnya  mengandung  pengakuan  sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu  Yazid,  seusai  shalat subuh,  mengeluarkan  kata-kata,  "Maha  Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah.  Tiada  Allah  selain Aku, maka sembahlah Aku."
 
Dalam  istilah  sufi,  kata-kata  tersebut  memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia  mengakui dirinya  Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada  permulaan  makalah  ini,  agar dapat  dekat  kepada  Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga  dari  syubhat.  Maka  dosa  terbesar tersebut  di atas  akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka  dalam  pengertian  sufi, kata-kata  di atas  betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah  yang  mengaku  diri-Nya  Allah  melalui lidah  Abu  Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah, tidak ada di rumah ini selain  Allah  Yang  Maha  Kuasa.  Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah."
 
Yang  mengucapkan  kata-kata  itu  memang  lidah  Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan  Abu  Yazid  bahwa  ia adalah  Tuhan.  Itu  adalah  kata-kata  Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
 
Sufi lain  yang  mengalami  persatuan  dengan  Tuhan  adalah Husain  Ibn  Mansur  al-Hallaj  (858-922  M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang  karena  dijatuhi hukuman  bunuh,  mayatnya  dibakar  dan  debunya  dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana  'l-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar).
 
Pengalaman  persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu   dengan  Tuhan,  al-Hallaj  mengalami  persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam  literatur  tasawuf  hulul diartikan,  Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam  di dalamnya  dengan   sifat-sifat   ketuhanannya, setelah  sifat-sifat  kemanusiaan  yang  ada dalam tubuh itu dihancurkan.
 
Di sini terdapat juga konsep fana’, yang  dialami  Abu  Yazid dalam  ittihad  sebelum  tercapai  hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut  (kemanusiaan)  dan lahut  (ketuhanan).  Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut  (kemanusiaan).  Landasan bahwa  Tuhan  dan  manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadis yang menegaskan  bahwa  Tuhan  menciptakan  Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
 
Hadis  ini  mengandung  arti  bahwa  di dalam  diri Adam ada bentuk  Tuhan  dan  itulah  yang  disebut   lahut   manusia. Sebaliknya  di dalam  diri  Tuhan  terdapat  bentuk  Adam dan itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:
 
Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
 
Dengan  membersihkan  diri  malalui   ibadat   yang   banyak dilakukan,  nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam  diri  sufi dan terjadilah hulul.
 
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
 
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
 
Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
 
Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
 
Ketika mengalami hulul yang digambarkan di atas itulah  lidah al-Hallaj   mengucapkan,  "Ana  'l-Haqq" (Akulah  Yang  Maha Benar).
 
Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung  arti  pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,
 
"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."
 
Syathahat atau ucapan  teopatis sufi  seperti  itu  membuat kaum  syari'at  menuduh sufi  telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak menangkap pengalaman  sufi  yang  mementingkan  hakikat  dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.
 
Dalam sejarah  Islam  memang  terkenal  adanya  pertentangan keras  antara  kaum syari'at dan kaum hakikat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda  setelah al-Ghazali  datang  dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang  menyakinkan. Al-Ghazali  menghalalkan  tasawuf  sampai  tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat  fana',  baqa’,  dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.
 
Kalau filsafat,  setelah  kritik  al-Ghazali  dalam  bukunya Tahafut  al-Falasifah,  tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf  sebaliknya  banyak  diamalkan,  bahkan  oleh syariat  sendiri.  Dalam  perkembangan  selanjutnya, setelah pengalaman  persatuan  manusia  dengan  Tuhan  yang   dibawa al-Bustami  dalam  ittihad  dan  al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan  wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.
 
Lahut  dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam  pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut  al-haqq,  dan  aspek  luar  yang  merupakan aksiden  disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya  satu,  yaitu  al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
 
Tuhan,  sebagaimana  disebut dalam Hadis yang telah dikutip pada permulaan, pada  awalnya  adalah  "harta"  tersembunyi, kemudian  Ia  ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam  sebagai  makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang di dalamnya terdapat gambar  Tuhan.  Dengan  kata lain,  alam  adalah  bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud  alam  tergantung pada  wujud  Tuhan.  Sebagai  bayangan,  wujud  alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
 
Yang ada dalam alam  ini  kelihatannya  banyak  tetapi  pada hakikatnya  satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa  cermin  yang  diletakkan  di sekelilingnya.  Di  dalam  tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam  cermin,  dirinya  kelihatan   banyak,   tetapi   pada hakikatnya  dirinya  hanya  satu.  Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya.
 
Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran  wahdat al-wujud  Ibn  Arabi  dengan “panteisme” dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta.  Jelas  bahwa  Ibn  Arabi tidak  mengidentikkan  alam  dengan  Tuhan.  Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi  lainnya,  Tuhan  adalah transendental  dan  bukan  imanen.  Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya  merupakan  penampakan  diri atau tajalli dari Tuhan.
 
Ajaran  wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada  ajaran  al-Insan  al-Kamil  yang  dikembangkan terutama  oleh  Abd  al-Karim  al-Jilli  (1366-1428).  Dalam pengalaman al-Jilli,  tajalli  atau  penampakan  diri  Tuhan mengambil  tiga  tahap  tanazul (turun), Ahadiyah, Huwiyah dan Aniyah.
 
Pada tahap Ahadiyah, Tuhan dalam keabsolutannya  baru  keluar dari  al-'ama,  kabut  kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap huwiyah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam  bentuk potensial. Pada tahap aniyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada  makhluk-Nya. Di   antara   semua   makhluk-Nya,   pada  diri  manusia  Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.
 
Sungguhpun manusia merupakan tajalli  atau  penampakan  diri Tuhan  yang  paling  sempurna  diantara  semua  makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada  semua  manusia.  Tajalli  Tuhan yang  sempurna  terdapat  dalam  Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat  Insan  Kamil,   seorang sufi   mesti   mengadakan   taraqqi (pendakian)  melalui  tiga  tingkatan: bidayah, tawassuth dan khitam.
 
Pada tingkat bidayah, sufi disinari  oleh  nama-nama  Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti  Pengasih,  Penyayang  dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassuth, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat, dan sifa-sifat lainnya.   Dan  Tuhan  ber-tajalli  pada  sufi  demikian  dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat  khitam,  sufi  disinari  “dzat Tuhan”  yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil.  Ia menjadi  manusia  sempurna,  mempunyai  sifat  ketuhanan dan dalam  dirinya  terdapat  bentuk  (shurah)   Allah.   Dialah bayangan  Tuhan  yang  sempurna.  Dan  dialah  yang  menjadi perantara antara manusia dan  Tuhan.  Insan  Kamil  terdapat dalam  diri  para  Nabi  dan  para wali. Di antara semuanya, Insan  Kamil  yang  tersempurna  terdapat  dalam  diri  Nabi Muhammad.
 
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai melalui  ittihad  serta  hulul  yang mengandung pengalaman persatuan ruh manusia dengan ruh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti  penampakan diri  atau  tajalli  Tuhan  yang  sempurna  dalam diri Insan Kamil.
 
Sementara itu tasawuf pada masa  awal  sejarahnya  mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau  pengikut-pengikut  sufi  besar  untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul  pada abad  ke-13  Masehi  untuk  melestarikan  ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul  pada  abad ke-14  bagi  pengikut  Bahauddin  Naqsyabandi  (w.  1415 M), Syattariah, pengikut  Abdullah  Syattar  (w.  1415  M),  dan Tijaniah   yang  muncul  pada  abad  ke-19  di  Marokko  dan Aljazair.  Tarekat-tarekat  besar  lain  diantaranya  adalah Bekhtasyiah  di  Turki,  Sanusiah  di  Libia,  Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria,  Mawlawiah  (Jalaluddin  Rumi)  di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.
 
Dalam  tarekat,  ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan,  sehingga  tarekat  menyimpang  dari   tujuan sebenarnya  dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran  dasar sufi  dan  syari'at  Islam,  sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.
 
Sementara itu ada pula tarekat  yang  menekankan  pentingnya kehidupan  ruhani  dan  mengabaikan  kehidupan  duniawi, dan disamping  itu  menekankan  ajaran  tawakal  sufi,  sehingga mengabaikan  usaha.  Dengan  kata  lain,  yang  dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.
 
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20,  tarekat mempunyai  pengaruh  besar  dalam  masyarakat  Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari  masyarakat  menjadi  anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara  menjadi  anggota  tarekat   Bekhtasyi   dan   dalam perlawanan   mereka   terhadap   pembaharuan  yang  diadakan sultan-sultan,  mereka  mendapat   sokongan   dari   tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki.
 
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di  kalangan  umat  Islam  yang bekas-bekasnya  masih  ada  pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin  pembaharuan dalam  Islam  seperti  Jamaluddin  Afghani,  Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal  Ataturk  memandang  tarekat sebagai  salah  satu  faktor  yang membawa kepada kemunduran umat Islam.
 
Dalam pada itu dunia dewasa ini  dilanda  oleh  materialisme yang  menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam  menghadapi  meterialisme  yang melanda dunia sekarang,  perlu dihidupkan   kembali “spiritualisme”. Disini tasawuf dengan ajaran  keruhanian  dan akhlak  mulianya  dapat  memainkan  peranan  penting. Tetapi untuk itu yang perlu  ditekankan  tarekat  dalam  diri  para pengikutnya  adalah  penyucian  diri  dan pembentukan akhlak mulia  di samping   keruhanian   dengan   tidak   mengabaikan kehidupan keduniaan.
 
Pada  akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat  yang  bosan  hidup  kematerian  lalu  mencari   hidup keruhanian  di  Timur.  Ada  yang  pergi ke keruhanian dalam agama Buddha, ada ke keruhanian dalam agama  Hindu  dan  tak sedikit  pula  yang  mengikuti keruhanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.
 
Dalam hubungan itu kira-kira 30  tahun  lalu,  A.J.  Arberry dalam  bukunya  Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu.  Oleh  karena  itu  bukanlah tidak  pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah  meninggalkan  pengaruh  besar dalam  kehidupan  umat  Islam  dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi  yang  akan  dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai keruhanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan  tantangan  seperti sekarang.
 
 
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963. 
Badawi, A.R., Syathahât al-Shûfiyyah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949. 
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964.