Puasa ‘Arafah, “Kapankah
Dilaksanakan?”
Oleh: Ust. Muhsin Hariyanto
Sebagian kaum muslimin memahami bahwa pelaksanaan puasa Arafah mesti berbarengan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Pemahaman ini benar dan berlaku bagi kaum muslimin yang berada di Mekkah dan sekitarnya yang tidak melaksanakan ibadah haji. Yang demikian itu karena wukuf di Arafah dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut ru’yah hilal (ru’yatul hilâl) yang dilakukan oleh penduduk Mekkah.
Sedangkan kaum muslimin yang berada di daerah yang jauh dari Mekkah, maka pendapat yang lebih kuat adalah melaksanakan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut ru’yah hilal yang mereka lakukan di negeri mereka. Dasar pijakan kesimpulan ini adalah sebagai berikut:
1. Sejarah pensyariatan (târîkh tasyrî') puasa ‘Arafah dan shalat ‘Îdul Adh-hâ.
Puasa ‘Arafah disyariatkan pada tahun kedua —ada juga riwayat yang menyebutkan tahun pertama— setelah hijrah bersamaan dengan disyariatkannya shalat ‘Idul Fitri dan Îdul Adh-hâ. Adapun wukuf di ‘Arafah sebagai bagian dari manasik haji, disyariatkan pada tahun keenam setelah hijrah.
Maknanya, pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan kelima setelah hijrah, Rasulullah s.a.w. dan para sahabat telah melaksanakan puasa ‘Arafah tanpa ada seorang pun melaksanakan wukuf di ‘Arafah. Saat disyariatkan, puasa ‘Arafah tidak dikaitkan dengan peristiwa wukuf di ‘Arafah. (Lihat: Zâdul Ma'âd, II/101, Fathul Bârî, III/442; Hâsyiyah al-Jumal, VI/203; dan Subulus Salâm, I/60)
2. Tiga Nama Puasa Arafah.
Puasa Arafah disebut dalam hadits dengan beberapa nama, yaitu:
a. Puasa Tis'a Dzuhijjah.
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ ، وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
“Salah seorang isteri Nabi s.a.w.. menyampaikan, "Rasulullah s.a.w.. biasa melaksanakan puasa pada hari kesembilan Dzulhijjah, hari 'Asyura, dan tiga hari setiap bulan (tanggal 13, 14, dan l5 bulan hijriyah)." (Hadits Riwayat Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud, VI/418, hadits nomor 2439; Hadits Riwayat Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, hadits no. 21302 dan 25263; dan Hadits Riwayat Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Ali al-Bayhaqi, As-Sunan al-Kubrâ lil Bayhaqî, IV/285, hadits nomor 8651)
b. Puasa al-'Asyru
أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ
"Empat perkara yang tidak
pernah ditinggalkan oleh Rasulullah s.a.w..: puasa ‘Asyura, puasa al-‘Asyru
(sepuluh hari awal Dzulhijjah), puasa tiga hari setiap bulan dan shalat dua
rakaat sebelum shalat Subuh." (Hadits Riwayat Ahmad ibn Hanbal dari
Hafshah binti ‘Umar ibn al-Khaththab, Musnad Ahmad ibn Hanbal, VI/287, hadits
nomor 26521 dan Hadis Riwayat An-Nasâi dari Hafshah binti ‘Umar ibn
al-Khaththab, Sunan an-Nasâ'i, II/238, hadits nomor 2416)
c. Puasa ‘Arafah
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه سُئِلَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ. فَقَالَ: يُكَفِّرُ اَلسَّنَةَ اَلْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“Abu Qatadah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah ditanya tentang puasa ‘Arafah. Beliau menjawab, "Puasa ‘Arafah menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang." (Hadits Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, III/167, hadits nomor 2804)
Berdasarkan ketiga penamaan ini dapat dipahami bahwa puasa ‘Arafah adalah puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah. Sebab jika puasa ‘Arafah dikaitkan dengan peristiwa wukuf di ‘Arafah, tentunya puasa pada hari itu tidak disebut dengan nama lain.
3. Fatwa Para Ulama Mengenai Puasa 'Arafah
a. Ibnu Taimiyyah berkata, "Hendaknya orang-orang melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah menurut kaum muslimin, meskipun sebenarnya itu adalah tanggal sepuluh Dzulhijjah." (Majmû' Fatâwâ, XXV/202)
b. Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, "Puasa pada hari yang diragukan, apakah itu tanggal sembilan ataukah sepuluh Dzulhijjah, tanpa diperselisihkan oleh para ulama adalah sah." (Majmû' Fatâwâ, XXV/203)
c. Ketika Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya tentang puasa ‘Arafah, apakah dilaksanakan berdasarkan ru’yah di negeri tempat seseorang tinggal, ataukah ru’yah di tanah haram, beliau menjawab —yang ringkasnya—hendaklah puasa dilaksanakan berdasarkan ru’yah di negeri tempat seseorang tinggal. (Fatâwâ wa Rasâil Ibni Utsaimin, XX/47-48 dan XIX/41)
Pendapat ini diperkuat dengan realita belum majunya teknologi komunikasi dan transportasi pada masa Salaf. Pada masa mereka, perjalanan sehari hanya dapat menempuh jarak 40-50 km. Apabila ru’yah penduduk Mekkah dikabarkan ke Madinah, maka kabar itu baru sampai pada tanggal 12 atau paling cepat 10 Dzulhijjah, karena jarak Mekkah-Madinah adalah 498 km.
Maknanya, dapat dipastikan bahwa Rasulullah s.a.w. pun melaksanakan puasa ‘Arafah berdasarkan ru’yah hilal penduduk Madinah, bukan ru’yah hilal penduduk Mekkah.
Wallâhu A'lamu bish-Shawâb.