Jamaluddin Al-Afghani

Jamaluddin Al-Afghani*

Oleh : Chusnul Aqib ( 20090720059)

         Jamaluddin Al-Afghani dilahirkan di Afganistan tepatnya di As’ad Abad salah satu kawasan Zon Kunar pada tahun 1254 H atau 1838 M. Ia mempunyai pertalian darah dengan pariwayat hadits terkenal yaitu At-Tarmidzi dan silsilahnya sampai kepada Husein bin Ali cucu Rasulullah SAW. Sehingga Jamaludiin diberi “Sayyid”. Sejak kecil tinggal di Kabul sampai usia 18 tahun. 

Ia adalah anak yang cerdas. Sejak umurnya 12 tahun ia telah hafal al-Qur`an, kemudian saat usianya menginjak 18 tahun ia sudah mendalami berbagai bidang ilmu keislaman dan ilmu umum. Ia sangat jenius, sehingga banyak mempelajari buku-buku Islam dan filsafat. Berbagai ilmu telah dipelajarinya; filsafat, hukum, astronomi, sejarah kedokteran, matematika, methafisika. Kejeniusannya menghantarkan Jamaluddin menguasai enam bahasa (Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia dan Rusia). Menurutnya ilmu pengetahuan akan dikuasainya dengan menguasai bahasa. Ilmu baginya bukan hanya ilmu-ilmu yang bersumber dari teks-teks wahyu namun semua sains merupakan urat nadi kehidupan manusia.

 Al-Afghani dikenal sebagai orang yang menghabiskan hidupnya hanya demi kemajuan Islam. Ia rela beranjak dari suatu negara ke negara lainnya demi menyuarakan pemikiran-pemikiran revolusionernya, tentunya demi mengangkat posisi dan martabat Islam yang jauh tertinggal dari dunia barat. 

Pada usia 19 tahun Jamaluddin kemudian merantau ke India. Nasionalisme tumbuh karena melihat rakyat India yang mengalami kesengsaraan akibat ditindas oleh penjajah Inggris. Kebencian kepada kolonialisme dan imperialisme semakin membara dalam diri Jamaludiin. Ia mengobarkan anti-penjajahan dan ikut ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan India pada Mei 1857. Jamaludin memberikan semangat, menyadarkan orang supaya menantang panjajah demi kemajuan masyarakat agama dan negara. 

Jamaluddin Al-Afghani adalah seorang ilmuwan dan pemikir yang terkenal pada abad 19, kreatif, penulis yang menghasilkan karya-karya bermutu juga seorang ahli politik, aktif berjuang menentang panjajah. Corak pemikirannya membawa masyarakat Islam pada kemajuan dan merdeka dari penjajah. Mengembara, berkeliling di berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan disamping berdakwah untuk membetulkan pemahaman ajaran Islam yang sebenar-benarnya.

Pemikiran
Afghani mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh.

 Sebenarnya Afghani bukanlah pemikir Islam yang pertama yang mempelopori aliran salafiyah (revivalis). Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula Syeikh Mohammd Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi salafiyah (baru) dari Afghani ini terdiri dari tiga komponen utama, yakni; Pertama, keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua, perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ketiga, pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat dalam dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam. Adapun alairan-aliran salafiyah sebelum Afghani hanya terdiri dari unsur pertama saja.

Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam, serta pengembalian keutuhan umat Islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam (Jami’ah islamiyah) atau Pan-Islamisme. Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus melipluti seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam negara-negara yang merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang masih merupakan rakyat jajahan. Ikatan tersebut, yang didasarkan atas solidaritas akidah Islam, bertujuan membiana kesetiakawanan dan persatuan umat Islam dalam perjuangan; pertama, menentang tiap system pemerintahan yang dispotik atau sewenang-wenang, dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, hal mana juga berarti menentang sistem pemerintahan Utsmaniyah yang absolut itu. Kedua, menentang kolonialisme dan dominasi Barat.

Reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik yang hendak diperjuangkan oleh salafiyah (baru) di negara-negara Islam adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melaui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat), pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik  sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan dan dominasi Barat. Menurut Afghani, cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat, kalau perlu dengan pertumpahan darah. Ia mengatakan bahwa kalau memang ada sejumlah hal yang harus direbut dan tidak ditunggu untuk diterima sebagai hadiah atau anugerah, maka kebebasan  kemerdekaan merupakan dua hal tersebut.

Waktu tinggal di Mesir, sejak awal Afghani menganjurkan pembentukan “pemerintaha rakyat” melalui partisipasi rakyat Mesir dalam pemerintahan konstitusional yang sejati. Ia banyak berbicara tentang keharusan pembentukan dewan perwakilan yang disusun sesuai dengan apa yang diinginkan rakyat, dan anggota-anggotanya terdiri ari orang-orang yang betul-betul dipilih oleh rakyat, sebab dia berkeyakinan bahwa suatu dewan perwakilan yang dibentuk atas perintah raja atau kepala negara, atau atas anjuran penguasa asing, maka lembaga tersebut akan lebih merupakan alat politik bagi yang membentuknya. Ketika penguasa Mesir, Khedewi Taufiq bermaksud menarik kembali janjinya untuk membentuk dewan perwakilan rakyat berdasarkan alasan bahwa rakyat masih bodoh dan buta politik, Afghani menulis surat kepada Khedewi yang isinya menyatakan bahwa memang benar di antara rakyat Mesir, seperti halnya rakyat dinegeri-negeri lain, banyak yang masih bodoh, teapi itu tidak berarti bahwa di antara mereka tidak terdapat orang-orang pandai dan berotak.

Tujuan utama gerakan Afghani ialah menyatukan pendapat semua negara-negara Islam di bawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Ia ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Menyadarkan bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini adalah karena mereka berpecah-belah.

                Afghani berusaha menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang tercecer. Ia yakin bahwa kebangkitan Islam merupakan tanggungjawab kaum Muslim, bukan tanggung jawab Sang Pencipta. Masa depan kaum Muslim tidak akan mulia kecuali jika mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai orang besar. Mereka harus bangkit dan menyingkirkan kelalaian. Mereka harus tahu realitas, melepaskan diri dari kepasrahan. Ia menjelaskan kebobrokan umat Islam, dan menerangkan bahwa duni Islam sedang terancam. Ancamannya datang dari Barat yang memiliki kekuatan dinamis. Afghani mengajak umat Islam untuk melakukan perbaikan secara internal, menumbuhkan kekuatan untuk bertahan dan mengadopsi buah peradaban Barat, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembalikan kejayaan Islam. Barat harus dihadapi karena dialah yang mengancam Islam. Cara menghadapinya adalah dengan menirunya dalam hal-hal yang positif, selain aturan kebebasan dan demokrasinya.

 Selanjutnya, pemikiran Afghani, diteruskan dan dikembangkan oleh murid-muridnya yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Selanjutnya, pemikiran Islam modern yang mereka kembangkan bukan hanya pada tingkat wacana, namun ditransformasikan oleh pengikut-pengikut selanjutnya menjadi gerakan. Dapat dikatakan bahwa gerakan Islam di abad kedua puluh banyak terpengaruh olehnya dan menjadikannya sumber inspirasi.


Pengaruh tersebut terlihat dalam tokoh dan gerakan-gerakan Islam modern masa kini seperti Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin,  Abul A’la al-Maududi dengan Jama’atul Islam dan termasuk Muh Natsir dengan Masyuminya.

Gerakan
         
             Demi terealisasinya keinginanya dalam memajukan Islam, setidaknya terdapat dua keadaan yang mesti dilakukan oleh umat muslim. Pertama, perubahan radikal signifikan dalam pola pikir mengenai ilmu pengetahuan dari yang sebelumnya bercirikan kekakuan kepada keterbukaan dan rasionalisme. Kedua, perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan yang dilakukan oleh imperialisme Barat.
             Berkenaan dengan keadaan yang kedua, hal ini dapat kita lihat dari berbagai aktivitas yang ia lakukan, baik melalui tulisan-tulisannya atau pun melalui dakwah-dakwah yang ia sampaikan di berbagai belahan negara. Pada setiap negara yang ia pernah tinggal di sana, ia selalu menyerukan nasionalisme terlepas dari agama yang dianut oleh suatu negara. Di India misalnya yang kala itu sedang mengalami kondisi kritis, yakni berada di bawah kolonialisme Inggris, ia lebih mendukung nasionalisme urdu. Dengan demikian yang menjadi inti dari seruannya adalah perlawanan terhadap imperialisme barat.   
           Hal serupa juga dilakukan di Afghanistan dan Mesir yang sama-sama berada di bawah imperialisme barat, yakni Inggris. Usahanya dalam menghapus intervensi asing akhirnya harus kandas, karena kedua penguasa di dua negara Islam tersebut berada di bawah bayang-bayang mereka yang akhirnya membuatnya tersingkir serta terusir.
Kendati demikian, ia tidak patah semangat, melalui gerakan intelektual yang ia adakan di rumahnya sewaktu ia berada di Mesir, ia berdakwah serta berdiskusi dengan para cendekiawan, mahasiswa, serta tokoh-tokoh gerakan. Begitu juga dengan yang ia lakukan di Paris (Prancis) dengan mendirikan suatu organisasi, al-Urwatul Wutsqa. Organisasi ini menerbitkan jurnal yang berisi seruan kepada umat muslim agar bersatu serta meninggalkan jubah fanatisme kelompok dan menolak penjajahan, menepis berbagai propaganda Barat terhadap dunia Islam yang menghasut kaum muslim agar meninggalkan Islam  karena selama seseorang masih berpegang teguh pada suatu agama niscaya ia tidak akan bangkit dari keterpurukan.
            Ide dan gagasan pembentukan “Al-Jami’ah Al-Islamiyah” atau Pan-Islamisme dikemukakan setelah Jamaluddin mendapatkan tempat layak dari Sultan Abdul Hamid di Istambul turki. Pan-Islamisme diharapkan bergabungnya kekuatan-kekuatan negara Timur yang terdiri dari, Persia, Afghanistan, dan Turki serta wilayah-wilayah yang ada di bawahannya dengan semacam persatuan dan perjanjian.

Penutup

            Jamaludin AL-Afghani merupakan sosok reformis pada zamannya. Setting sosial menjadikan Jamaludin tumbuh sebagai individu “pemberontak” terhadap kondisi saat itu. Dilaterbelakangi oleh penetrasi Barat terhadap dunia Islam, jiwanya yang suka mengembara, mengobarkan semangat perjuangan, anti-koloniliais, anti-imperialisme dan anti-penjajah menghantarkannya lebih terkenal sebagai tokoh politik daripada tokoh ilmuwan, ulama cendekiawan dan pendidik. Padahal sebenarnya banyak ide, gagasannya yang menggali tentang keberadaan ajaran Islam, Filsafat Islam dan ajaran-ajaran Islam. Karena pemikiran-pemikiran yang komprehensip itulah Jamaludin sering mendapat hujatan bahkan kecaman.

            Jamaludian terkenal sebagai sosok yang berkperibadian merakyat. Sering disela-sela mengajarnya bila malam hari berkeliling dan berdiskusi di “warung kopi”, berdiskusi dengan siapa saja. Tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkannya, semuanya seolah-olah Jamaludin tempat untuk memecahkan masalah.
 
           Corak pemikiran Jamaludian Al-Afghani bersifat “Revival” yang ingin mengembalikan sesuatu ajaran Islam pada asalnya dengan mengambil bentuk umat ideal jaman rasul dan para sahabat dan bersifat “Modern” dengan menggabungkan Ilmu pengetahuan, teknologi serta filsafat dalam setiap kajian pemahaman terhadap teks-teks ajaran Islam. Sehingga tidak jarang ide-ide, gagasan-gagasan serta pemikirannya selalu berseberangan dengan ulama-ulama setempat yang mengakibatkannya selalu diusir dari satu negara ke negara lain.

            Gaung gagasan dan pemikirannya mengilhami para intelektual, pemikir sesudahnya. Dikomandani oleh Muhammad Abduh, Rasyid Redla semangat Jamaludin AL-Afghani menyebar ke seluruh penjuru dunia baik Timur maupun Barat. Walaupun tidak meningglkan “turunan biologis” tetapi “muridnya’ sebagai pewaris keilmuan, pewaris cita-cita, ide dan gagasannya menjadi “turunan hakiki” yang akan diwariskan kepada genarasi selanjutnya.
Wallahu ‘alam bi murodlihi



[*] Disusun sebagai tugas Mata Kuliah Aliran Modern dalam Islam