Oleh : Prof. Dr. Yunahar Ilyas
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak yang agung” (QS
al- Qalam, 68 : 4).
Adakah orang yang tidak menyukai perhiasan? jawaban pertanyaan ini
jelas, bahwa tidak ada seorangpun melainkan ia menyukai perhiasan dan senang
untuk tampil berhias di hadapan siapa saja. Karena itu kita lihat banyak orang
berlomba-lomba untuk memperbaiki penampilan dirinya. Ada yang lebih
mementingkan perhiasan dhahir (luar) dengan penambahan aksesoris seperti pakaian
yang bagus, make up yang mewah dan emas permata, sehingga mengundang decak
kagum orang yang melihat. Adapula yang berupaya memperbaiki kualitas akhlak,
memperbaiki dengan akhlak islami.
Yang disebut
terakhir ini tentunya bukan decak kagum manusia yang dicari, namun karena
kesadaran agamanya menghendaki demikian dengan disertai harapan mendapatkan
pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kalaupun penampilannya mengundang pujian
orang, ia segera mengembalikannya kepada Allah karena kepunyaan-Nyalah segala
pujian dan hanya Dialah yang berhak untuk dipuji.
Mungkin banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Di
satu sisi kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti
agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam
masalah akhlak kurang diperhatikan. Sehingga tidak dapat disalahkan bila ada
keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awwam, seperti ucapan : “Wah udah
ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua.” Atau ucapan : “Dia sih agamanya
bagus tapi sama tetangga tidak pedulian.”, dan lain-lain.
Seharusnya ucapan-ucapan seperti ini ataupun yang semisal dengan ini
menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri dan membenahi akhlak. Islam
bukanlah agama yang mengabaikan akhlak, bahkan islam mementingkan akhlak. Yang
perlu diingat bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti islam yang memang seharusnya
kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlak
mempunyai hubungan yang erat. Tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba
terhadap Allah dan ini merupakan pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang
bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin
sempurna tauhid seseorang maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila
seorang muwahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya.
Rasulullah -- Muhammad -- Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam, rasul
kita yang mulia mendapat pujian Allah. Karena ketinggian akhlak beliau
sebagaimana firmanNya dalam surat Al Qalam ayat 4. bahkan beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa kedatangannya adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang ada pada diri manusia, “Hanyalah aku diutus (oleh
Allah) untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.Ahmad, lihat Ash Shahihah
oleh Asy Syaikh al Bani no.45 dan beliau menshahihkannya).
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang mulia menyatakan
: “Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik budi pekertinya.”
(HR.Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain anas memuji beliau shalallahu ‘alahi
wasallam : “Belum pernah saya menyentuh sutra yang tebal atau tipis lebih halus
dari tangan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Saya juga belum pernah
mencium bau yang lebih wangi dari bau rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Selama sepuluh tahun saya melayani rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam,
belum pernah saya dibentak atau ditegur perbuatan saya : mengapa engkau berbuat
ini ? atau mengapa engkau tidak mengerjakan itu ?” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Akhlak merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba
sebagaimana telah disabdakan oleh rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Orang mukmin
yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.” (HR
Tirmidzi, dari abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan juga oleh Ahmad.
Disahihkan Al Bani dalam Ash Shahihah No.284 dan 751). Dalam riwayat Bukhari
dan Muslim dari Abdillah bin amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma disebutkan : “Sesungguhnya
sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaknya.”
Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu mengabarkan bahwa suatu saat
rashulullah pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk
syurga. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Taqwa
kepada Allah dan Akhlak yang Baik.” (Hadits Shahih Riwayat at-Tirmidzi,
juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Lihat Riyâdush Shâlihin hadis no.627,
tahqíq Rabbah dan Daqqaq).
Tatkala Rasulullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam menasihati
sahabatnya, beliau shalallâhu ‘alaihi wa sallam menggandengkan antara nasihat
untuk bertaqwa dengan nasihat untuk bergaul/berakhlak yang baik kepada manusia
sebagaimana hadits dari abi dzar, ia berkata bahwa rashulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada
dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan
menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”
(HR Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan, dan dishahihkan oleh syaikh Al Salim Al
Hilali).
Dalam timbangan (mizan) amal pada hari kiamat tidak ada yang lebih berat
dari pada aklak yang baik, sebagaimana sabda rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam : “ Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan seorang hamba)
adalah akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, dishahihkan Al
Bani. Lihat ash Shahihah Juz 2 hal 535). Juga sabda beliau : “
Sesungguhnya sesuatu yang paling utama dalam mizan (timbangan) pada hari kiamat
adalah akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, dishahihkan al Bani. Lihat
Ash Shahihah juz 2 hal.535).
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata : Rashulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat
padaku majelisnya di hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.”
(HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan dishahihkan
oleh Ibnu Hibban. Lihat Ash shahihah Juz 2 hal 418-419).
Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa akhlak yang paling
baik memiliki keutamaan yang tinggi. Karena itu sudah sepantasnya setiap
muslimah mengambilakhlak yang baik sebagai perhiasannya. Yang perlu diingat
bahwa ukuran baik atau buruk suatu akhlak bukan ditimbang menurut selera
individu, bukan pula hitam putih akhlak itu menurut ukuran adat yang dibuat
manusia. Karena boleh jadi, yang dianggap baik oleh adat bernilai jelek menurut
timbangan syari’at atau sebaliknya.
Jelas bagi kita bahwa semuanya berpatokan pada syari’at, dalam semua
masalah termasuk akhlak. Allah sebagai Pembuat syari’at ini, Maha Tahu dengan
keluasan ilmu-Nya apa yang mendatangkan kemashlahatan/kebaikan bagi
hamba-hamba-Nya. Wallâhu A’lam bish Shawâb.