(Tuhan-Tuhan yang Populer)
Oleh : Prof. Dr. Yunahar Ilyas
Prolog
Dalam kenyataannya, kebanyakan manusia di dunia
ini bertuhan lebih dari satu. al-Quran menamakan mereka ini musyrik, yaitu
orang yang syirik. Kata syirik ini berasal dari kata "syaraka"
yang berarti "mencampurkan dua atau lebih benda/hal yang tidak sama
menjadi seolah-olah sama", misalnya mencampurkan beras kelas dua ke dalam
beras kelas satu. Campuran itu dinamakan beras isyrak. Orang yang
mencampurkannya disebut musyrik. Lawan "syaraka" ialah "khalasha"
artinya memurnikan. Beras kelas satu yang masih murni, tidak bercampur sebutir
pun dengan beras jenis lain disebut beras yang "Khâlish". Jadi orang yang ikhlâsh bertuhankan hanya Allah
ialah orang yang benar-benar bertauhid. Inilah konsep yang paling sentral di
dalam ajaran Islam.
Mentauhidkan Allah ini tidaklah semudah percaya
akan wujudnya Allah. Mentauhidkan Allah dengan ikhlash menghendaki suatu
perjuangan yang sangat berat. Mentauhidkan Allah adalah suatu jihad yang
terbesar di dalam hidup ini. Kenyataannya, orang-orang yang sudah mengaku Islam
pun, bahkan mereka yang sudah rajin bershalat, berpuasa dan ber'ibadah yang
lain pun, di dalam kehidupan mereka sehari-hari masih bersikap, bahkan
bertingkah laku seolah-olah mereka masih syirik (bertuhan lain di samping Tuhan
Yang Sebenarnya). Mereka masih mencampurkan (mensyirikkan) pengabdian mereka
kepada Allah itu dengan pengabdian kepada sesuatu "ilah" yang
lain. Pengabdian sampingan itu biasanya ialah di dalam bentuk "rasa
ketergantungan" kepada ilah yang lain itu. Oleh karena itu,
al-Quran mengingatkan setiap Muslim, bahwa dosa terbesar yang tak akan
terampunkan oleh Allah ialah syirik ini (Lihat QS an-Nisa', 4: 48 dan 116):
1. Harta atau Duit Sebagai Ilah
Tuhan lain atau "tuhan tandingan", yang
paling populer di zaman modern ini ialah duit, karena ternyata memang duit ini
termasuk "ilah" yang paling berkuasa di dunia ini. Di kalangan
orang Amerika terkenal istilah "The Almighty Dollar" (Dollar
yang maha kuasa). Memang telah ternyata di dunia, bahwa hampir semua yang ada
di dalam hidup ini dapat diperoleh dengan duit, bahkan dalam banyak hal harga
diri manusia pun bisa dibeli dengan duit.
Cobalah lihat sekitar kita sekarang ini, hampir
semuanya ada "harga''-nya, jadi bisa "dibeli" dengan duit.
Manusia tidak malu lagi melakukan apa saja demi untuk mendapat duit, pada hal
malu itu salah satu bahagian terpenting dari iman. Betapa banyak orang yang
sampai hati menggadaikan negeri dan bangsanya sendiri demi mendapat duit.
Memanglah "tuhan" yang berbentuk duit ini sangat banyak menentukan
jalan kehidupan manusia di zaman modern ini.
Pada mulanya manusia menciptakan duit hanyalah
sebagai alat tukar untuk memudahkan serta mempercepat terjadinya perniagaan.
Maka duit bisa ditukarkan dengan barang-barang atau jasa dalam berbagai bentuk.
Oleh karena itu, duit juga disebut sebagai "harta cair" (liquid
commodity). Kemudian, fungsi duit sebagai alat tukar ini menjadi demikian
efektifnya, sehingga di zaman ini, terutama di negeri-negeri yang berlandaskan
materialisme dan kapitalisme, duit juga dipakai sebagai alat ukur bagi status
seseorang di dalam masyarakat.
Kekuasaan, pengaruh, bahkan nilai pribadi
seseorang diukur dengan jumlah kekayaan (asset)-nya. Prestasi pribadi seseorang
pun telah diukur dengan umur semuda berapa ia menjadi jutawan. Semakin muda
seseorang mendapat duit sejumlah sejuta dollar dianggap semakin tinggi nilai
pribadinya. Umpamanya, ketika penulis sedang mengetik naskah edisi baru ini (di
Ames, Iowa, USA, awal Ramadhan 1406/ May 1986), di dalam siaran TV diumumkan,
bahwa Michael Jackson mendapat piagam kehormatan tertinggi (Golden Award)
sebagai "seniman" penyanyi termuda (di bawah 30 tahun) yang terhebat,
karena ia berhasil mendapat kontrak sejumlah 15 juta dollar untuk menyanyikan
lagu "Pepsi Cola" di dalam siaran-siaran TV dan radio selama tiga
tahun. Jadi ia berpenghasilan 5 juta dollar setahun dalam masa tiga tahun
mendatang ini; kira-kira 20 x gaji presiden Amerika Serikat (Ronald Reagen) pada
masa yang sama. Kehidupan dan gaya hidup orang-orang yang banyak duit ini di
USA sengaja ditonjolkan melalui program yang periodik di TV (The Lifestyles
of the Rich and Famous).
2. Takhta Sebagai Ilah
"Tuhan tandingan" kedua yang paling
populer ialah pangkat atau takhta, karena pangkat ini erat sekali hubungannya
dengan duit tadi, terutama di negeri-negeri yang sedang berkembang. Pangkat
atau takhta bisa dengan mudah dipakai sebagai alat untuk mendapat duit atau
harta, terutama di negeri-negeri di mana kebanyakan rakyatnya masih berwatak
"nrimo", karena belum terdidik dan belum cerdas. Apalagi, kalau di
negeri itu kadar kebebasan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun
tulisan, masih rendah.
Di negeri-negeri yang rakyatnya sudah cerdas, dan
kebebasan mengeluarkan pendapat terjamin penuh oleh undang-undang, memang
peranan pangkat dan kedudukan tidak mudah, bahkan tidak mungkin dipakai untuk
mendapatkan duit/harta. Oleh karena itu, orang-orang yang ikut aktif di dalam
perebutan kedudukan yang bersifat politis di negeri- negeri yang sudah maju ini
biasanya orang-orang yang sudah kaya lebih dahulu. Mendiang presiden Kennedy,
umpamanya, menolak pembayaran gajinya sebagai presiden yang jumlahnya ketika
itu 125 ribu dollar setahun, karena ia sudah jutawan sebelum jadi presiden. Ia
merebut kedudukan kepresidenan dengan mengalahkan Nixon, ketika itu, karena
dorongan rasa patriotiknya, atau mungkin juga demi menjunjung tinggi nama dan
kehormatan keluarganya, namun bukan karena menginginkan kekayaan yang mungkin
diperoleh dari kepresidenan itu.
Jadi, nyata benar bedanya dengan bekas presiden
Marcos dan isterinya Imelda, umpamanya, yang telah menjadi kaya raya akibat
kedudukannya, karena itu mereka telah bersikeras terus mempertahankan kedudukan
itu, walaupun rakyat sudah menyatakan ketidak-senangan mereka kepadanya. Hal
ini bisa terjadi di negeri Marcos, karena kecerdasan dan kebebasan rakyatnya
masih jauh di bawah kecerdasan dan kebebasan rakyat Amerika Serikat.
Contoh-contoh seperti Marcos dan Imelda ini
banyak sekali terjadi di negeri-negeri yang sedang berkembang, seperti Tahiti
dengan Duvalier-nya, Iran dengan mendiang Syah-nya, dan lain-lain...!
Suatu hal yang sangat menarik, karena berhubungan
dengan masalah ini, ialah, bahwa al-Quran sudah mengajarkan kepada para Muslim
yang benar-benar bertauhid (beriman) agar mereka memilih pemimpin, selain Allah
dan Rasul-Nya, hanyalah "orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan membayarkan zakat seraya tunduk hanya kepada Allah." Ayat selengkapnya
berbunyi:
"Sungguh, pemimpinmu
(yang sejati) hanyalah allah dan rasul-nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan membayarkan zakat, seraya tunduk (patuh kepada Allah)." (QS al-Maidah, 5: 55)
Bukankah yang diwajibkan membayar zakat ini ialah
orang yang kaya, atau paling tidak orang yang sudah berkecukupan. Orang yang
miskin, dan karena itu tidak mampu membayarkan zakat, walaupun sudah ta'at
melakukan sembahyang, belum memenuhi syarat untuk dipilih sebagai pemimpin.
Akan terlalu berat baginya mengatasi keinginan melepaskan diri dari tekanan
kemiskinan itu, sehingga mungkin ia akan lebih mudah tergoda untuk memperkaya
dirinya dahulu, sebelum atau sambil menjalankan tugasnya sebagai pemimpin itu.
Sungguh, sangat tinggi hikmah yang terkandung di
dalam ayat ini, terutama mengenai masalah memilih atau menentukan pemimpin.
Sangat sayang, bahwa kebanyakan ummat Islam pada saat ini belum sempat mencapai
tingkat kecerdasan yang memadai untuk memahami dan menghayati kandungan ayat
suci ini. Oleh karena itu, ummat ini belum juga berhasil memilih pemimpin
mereka sesuai dengan kandungan ajaran Allah ini. Akibatnya, ummat Islam belum
mampu mencapai tingkat kemerdekaan (tauhid) yang minimal menurut standard yang
dikehendaki al-Quran. Benar juga kiranya, jika ada yang mengatakan, bahwa
"al-Quran masih terlalu tinggi bagi kebanyakan ummat Islam pada masa
ini". Dengan perkataan lain, ummat Islam pada masa ini masih terlalu
rendah mutunya, sehingga belum pantas untuk menerima al-Quran yang mulia itu.
Oleh karena itu, kita tak perlu heran jika
nilai-nilai dasar dan pokok yang diajarkan di dalam al-Quran masih lebih mudah
terlihat dipraktekkan di negeri-negeri, yang justeru mayoritas penduduknya
resmi belum beragama Islam.
3. Syahwat Sebagai Ilah
Tuhan ketiga yang paling populer pada setiap
zaman ialah syahwat (baca: dorongan seksual; meskipun pengertian syahwat
tidak terbatas pada dorongan seksual saja, tetapi semua keinginan pada sesuatu
yang tak terbatas). Demi memenuhi keinginan akan seks ini banyak orang yang
tega melakukan apa saja yang dia rasa perlu. Orang yang sudah terlanjur
mempertuhankan seks tidak akan bisa lagi melihat batas-batas kewajaran,
sehingga ia akan melakukan apa saja demi kepuasan seksualnya.
Contoh-contoh dalam sejarah mengenai hal ini
cukup banyak, sehingga Allah mewahyukan riwayat yang sangat rinci tentang Nabi
Yusuf a.s. yang telah berjaya menaklukkan godaan seksual ini. Nabi Yusuf a.s. dipuji
oleh Allah dalam al-Quran sebagai seorang yang telah berhasil menentukan pilihan
yang tepat ketika dihadapkan dengan alternatif: "pilih hidayah iman atau
kemerdekaan untuk berkehendak". Beliau memilih nikmat Allah yang pertama,
yaitu hidayah iman. Dengan mengorbankan kemerdekaannya untuk berkehendak beliau
memilih masuk penjara daripada mengorbankan imannya dengan tunduk kepada godaan
keinginan syahwat isteri salah seorang menteri, majikan beliau.
"Dia (Yusuf) berkata:
"Hai Tuhanku! Penjara itu lebih kusukai dari pada mengikuti keinginan
(syahwat) mereka, dan jika tidak Engkau jauhkan dari padaku tipu daya mereka,
niscaya aku pun akan tergoda oleh mereka, sehingga aku menjadi orang-orang yang
jahil." (QS Yusuf, 12: 33).
Dari ayat ini jelas betapa hebat syahwat seksual
pada seseorang yang sehat dan masih remaja seperti Yusuf a.s. ketika digoda
oleh isteri salah seorang menteri, majikan beliau yang cantik jelita. Namun
dengan "tauhid" yang mantap beliau tidak sampai terjatuh ke lembah
kehinaan.
Dr. Imaduddin Abdurrahim mengandaikan bahwa puisi
"Aku" nya Chairil Anwar yang sudah dikoreksi -- sebagai berikut --
kiranya dapat dipakai untuk melukiskan pribadi Yusuf a.s. ini:
AKU
Bila sampai waktuku
'Kumau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga 'kau.
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini hamba Allah
Dari gumpalan darah
Merah
Biar peluru menembus kulitku
'Ku 'kan terus mengabdi
Mengabdi dan mengabdi
Hanya kepada-Mu
Ilahi Rabbi
Epilog
Dengan bertuhan hanya kepada Allah SWT, yang
kekuasaan-Nya memang mutlak dan benar-benar nyata, pada hakikatnya manusia akan
mampu menikmati tingkat kemerdekaan yang paling tinggi, yang mungkin tercapai
oleh manusia. Inilah yang dituju oleh setiap Muslim di dalam hidupnya. Setiap
Muslim yang betul-betul beriman adalah manusia yang paling bebas dari segala
macam bentuk keterikatan, kecuali keterikatan yang datang dari Allah
Penciptanya. Ia menghargakan kemerdekaan itu sedemikian tingginya sehingga
tanpa ragu-ragu, jika perlu, ia siap mengorbankan hidupnya sendiri demi
mempertahankan kemerdekaan itu. Jika hal ini terjadi, maka ia akan mendapat
kehormatan yang paling tinggi dari Allah sendiri. Demikian rupa tinggi
kehormatan itu, sehingga ummat Islam dilarang Allah mengatakan orang ini mati,
jika ia gugur di dalam mempertahankan haknya ini. Karena walaupun tubuhnya
sudah menjadi mayat, namun dalam penilaian Allah SWT orang ini tetap hidup.
Apanyakah yang hidup? Tiada lain melainkan kemanusiaannya. Bukankah sudah
diterangkan di atas, bahwa nilai kemanusiaan seseorang itu sebanding dengan
kemerdekaan yang dihayatinya.