Perkembangan jaman telah melahirkan beberapa ijtihad baru yang menarik dan terkadang cukup kontroversial. Di antara permasalahan kontroversial yang selalu mengundang debat adalah tentang hukum mengucapkan dan menghadiri perayaan natal umat Kristiani. Beberapa tokoh membolehkan, tetapi banyak juga yang mengharamkan, sehingga masih aktual untuk diperbincangkan.
Buya HAMKA --sebagai Ketua MUI -- telah memelopori fatwa haramnya mengucapkan dan menghadiri misa natal pada tahun 1981. Bahkan telah terjadi perdebatan yang sangat panas dengan pemerintah, sehingga beliau lebih memilih mundur dari jabatannya daripada menghalalkan ucapan selamat natal. Buya HAMKA juga teguh mengharamkan acara doa bersama dan menghadiri perayaan-perayaan ritual agama lain bagi seorang muslim.
Muhammadiyah juga turut mendukung fatwa MUI itu, demi kehati-hatian (Tanya-Jawab Agama, 2: 209-210). Begitu juga para ulama Timur Tengah, termasuk yang tergabung dalam Lajnah Dâimah Li al-Buhûst al-‘Ilmiyyah wal Iftâ’.
Nah pertanyaannya: "apakah kita 'sebaiknya' masuk ke dalam kelompok yang pro atau kontra?"
Saya pribadi, sebagai muslim, berdasarkan pengalaman saya di masyarakat bawah, 'menyatakan' -- dengan menggunakan prinsip saddudz dzari'ah -- : "lebih baik tidak 'perlu' mengucapkan dan menghadiri perayaan Natal. Karena -- saya tengarai -- madharatnya lebih besar daripada manfaatnya, utamanya dngan pertimbangan 'untuk' menyelamatkan 'aqidah' umat Islam yang mayoritas adalah kaum muslimin yang 'awam'. Sementara, kegigihan umat kristiani untuk melakukan kegiatan misi kristenisasi 'yang halus' di kalangan masyarakat bawah semakin kuat, kita (baca: umat Islam) seharusnya semakin waspada.
Tetapi, andaikata 'ada' yang berpendapat 'berbeda' dengan (pendapat) saya, dengan berbagai alasannya, saya pun 'tetap' akan menghormati.
Selanjutnya 'saya' (sebagai muslim) -- dengan sejujur-jujurnya -- harus menyatakan: "Setelah melihat, mencermati dan menimbang dari berbagai sisi, maka kami simpulkan bahwa hukum mengucapkan dan menghadiri perayaan natal adalah ‘haram hukumnya’, atau lebih tepatnya: “harâm li saddidz dzarî’ah”, karena tidak adanya dalil yang memerintahkan (membolehkannya) atau melarangnya, dan lemahnya hujjah atau argumentasi orang-orang yang membolehkannya, sementara dampak negatifnya lebih jelas bisa diperhitungkan daripada dampak positifnya.
Wujud toleransi beragama – menurut pandangan penulis -- tidak harus diwujudkan dengan mengucapkan dan menghadiri natal; tetapi bisa dilakukan – misalnya -- dengan menumbuhkan sikap saling menghormati dan mempersilakan setiap penganut agama untuk menjalankan ibadah dan keyakinannya serta aman hidup secara berdampingan tanpa harus mengurbankan aqidah.
Umat non-muslim juga harus menghormati fatwa lembaga Islam (MUI, misalnya) yang mengharamkan perayaan natal bersama karena fatwa itu hanya di tujukan kepada internal umat Islam untuk menjaga kemurnian aqidah dan ibadah mereka. Faktanya adalah umat Islam yang mayoritas di negeri ini tidak pernah berbuat zalim, bahkan selalu berupaya membina kerukunan hidup antarumat beragama dengan prinsip toleransi yang proporsional.
Wallâhu A’lam bi ash-Shawâb.
Tulisan ini diambil dari facebook Ust. Muhsin Hariyanto