Al-Dzarî’ah: Memahami Konsep Sadd al-Dzarî’ah dan Fath al-Dzarî’ah

Oleh: Drs. Muhsin Hariyanto, M.Ag
Al-Dzarî’ah:
Memahami Konsep Sadd al-Dzarî’ah dan Fath al-Dzarî’ah
Abstrak
Tujuan penetapan hukum adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan/atau menghindarkan kemadharatan. Dengan memakani nalar al-Dzarî’ah, baik dalam pengertian Fath al-Dzarî’ah maupun  Sadd al-Dzarî’ah, diharapkan tercapai kemashlahatan atau terjauhkannya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya dari kemungkinan terjadinya perbuatan maksiat akan lebih dimungkinkan untuk kita peroleh. Dengan kata lain, penerapan penalaran hukum al-Dzarî’ah ini dimungkinkan untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan dan terciptanya kebaikan.
A. Pendahuluan
    Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam al-Quran dan Hadis Nabi s.a.w..
    Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Metode sadd al-dzari’ah merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
    Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd al-dzari’ah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
    B. Pengertian Sad al-Dzar‘ah
      1. Secara Etimologis
      Kata sadd al-dzar‘ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhâfah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ ) dan al-dzar‘ah (الذََّرِيْعَة). Secara etimologis, kataas-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kataas-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.[1] Sedangkan al-dzar‘ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (waslah)[2] dan sebab terjadinya sesuatu.[3]Bentuk jamak dari al-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzarâi’ (الذَّرَائِع).[4] Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqh al-Fushûl f ‘Ulûm al-Ushûlkarya al-Qarafi,[5] istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzarâi’.[6]
      Pada awalnya, kata al-dzar‘ah digunakan untuk onta yang digunakan orang Arab dalam berburu. Si onta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping onta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika onta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata al-dzar‘ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.[7]
      2.  Secara Terminologis
      Menurut al-Qarafi, sadd al-dzar‘ah bermakna memotong jalan kerusakan(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.[8] Dengan ungkapan yang senada, menurut al-Syaukani, al-dzar‘ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhûr).[9]
      Dalam karyanya al-Muwâfaqât, al-Syathibi menyatakan bahwa sadd al-dzar‘ahadalah menolak sesuatu yang boleh (jâiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnû’).[10] Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman,sadd al-dzar‘ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.[11] Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.[12]
      Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti al-Syathibi dan al-Syaukani mempersempit al-dzar‘ah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan al-dzar‘ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya al-dzar‘ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi al-dzar‘ah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut pada halaman berikutnya.
      Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd al-dzar‘ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
      C. Kedudukan Sadd al-Dzar‘ah
        Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd al-dzar‘ahmerupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbâth al-hukm)dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-dzar‘ah adalah salah satu sumber hukum.
        Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzar‘ah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
        Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwâr al-Burûq fi Anwâ’’ al-Furûq. Begitu pula Imam al-Syathibi  (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwâfaqât.
        Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd al-dzar‘ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafi’i menggunakan sadd al-dzar‘ah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (al-dzar‘ah) kepada tindakan mencegah untuk memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga al-dzar‘ah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[13]
        Contoh kasus penggunaan sadd al-dzar‘ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd al-dzar‘ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.[14]
        Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd al-dzar‘ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyû’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.[15]
        Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.[16]
        Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan sadd al-dzar‘ah dalam pelarangan tersebut.Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah(fâsid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.[17]
        Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafal (al-lafzh) dalam akad (al-’aqd), bukan niat dan maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[18]
        Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zhâhir al-lafzh). Sementarasadd al-dzar‘ah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzar‘ah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.
        Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zhahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd al-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkâm f Ushûl al-Ihkâm. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd al-dzar‘ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyâth(kehati-hatian dalam beragama). Sadd al-dzar‘ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang. Konsep sadd al-dzar‘ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nashlain yang jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijmâ’. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata.[19]
        Contoh kasus penolakan kalangan al-Zhahiri dalam penggunaan sadd al-dzar‘ahadalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (al-dzar‘ah) bagi wanita untuk sekadar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.[20]
        Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd al-dzar‘ah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakansadd al-dzar‘ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
        Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd al-dzar‘ah,hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhâhir (fenomena) al-nash (teks) dan zhahir (fenomena)al-fi’l (perbuatan). Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada makna tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justeru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashlahah.Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd al-dzar‘ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
        Dengan sadd al-dzar‘ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab al-Zhahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd al-dzar‘ah adalah karena faktor eksternal (tahrm li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentuperbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.
        Terkait dengan kedudukan sadd al-dzar‘ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd al-dzar‘ah merupakan metode istinbâth (penalaran) hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd al-dzar‘ah cenderung menjadi bias gender. Sadd al-dzar‘ah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.[21]
        Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd al-dzar‘ah-nya, namun orang yang menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd al-dzar‘ah tentu masih bisa dikaji kembali bagaimana thuruq al-istinbâth (prosedur-prosedur penalaran)-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd al-dzar‘ah menimbulkan sikap defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.
        D. Dasar Hukum Sadd al-Dzar‘ah
          1. Al-Quran
          وَ لا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِما كانُوا يَعْمَلُونَ
          “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’âm, 6: 108).
          Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd al-dzari’ah).
          يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُواْ وَلِلكَفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
          “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Râ’inâ”, tetapi katakanlah: “Unzhurnâ”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah, 2: 104).
          Pernyataan Allah pada QS al-Baqarah, 2: 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata râ ‘inâ (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah s.a.w. Mereka menggunakannya dengan maksud kata râ ‘inâ (رَعِنًا) sebagai bentuk isim fâ’il dari masdar kata  ru’ûnah (رُعُوْنَة) yang berarti bodoh atau tolol.[22] Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata râ’inâ yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurnâ yang juga berarti sama dengan râ’inâ. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzar‘ah.[23]
          2.  As-Sunnah
          عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
          Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”[24]
          Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd al-dzar‘ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd al-dzari’ah.[25]
          3.  Kaedah Fikih
          Di antara kaedah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzar‘ahadalah:
          دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
          Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (mashlahah).[26]
          Kaedah ini merupakan kaedah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaedah lain juga bersandar pada kaedah ini. Karena itulah, sadd al-dzar‘ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd al-dzar‘ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
          4. Logika
          Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûwâqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”[27]
          E. Macam-macam al-Dzar‘ah
            Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan al-dzar‘ah menjadi empat macam, yaitu:[28]
            1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
            2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahll). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
            3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan(mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (mashlahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
            4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
            Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan al-Syathibi membagi al-dzar‘ah menjadi tiga macam, yaitu:
            1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
            2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
            3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.[29]
            F.  Perbedaan al-Dzar‘ah dengan Muqaddimah
            Wahbah al-Zuhaili membedakan antara al-dzar‘ah dengan muqaddimah. Beliau mengilustrasikan bahwa al-dzar‘ah adalah laksana tangga yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi yang mendasari tegaknya dinding.[30]
            Dengan demikian, al-dzar‘ah dititikberatkan kepada bahwa ia sekadar sarana dan jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum tertentu.Muqaddimah merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, sa’i merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji sendiri merupakan kewajiban.
            G. Fath al-Dzar‘ah
            Kebalikan dari sadd al-dzar‘ah adalah fath al-dzar‘ah. Hal ini karena titik tolak yang digunakan adalah al-dzar‘ah. Dalam mazhab Maliki dan Hambali, al-dzar‘ahmemang ada yang dilarang dan ada yang dianjurkanHal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang dianggap berasal mewakili mazhab Maliki dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang dianggap mewakili mazhab Hambali. Al-dzar‘ah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd al-dzar‘ah; adakalanya dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath al-dzar‘ah.[31]
            Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath al-dzar‘ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibâhah), menganjurkan (istihâb), maupun mewajibkan (jâb) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.
            Contoh dari fath al-dzar‘ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
            Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun al-dzar‘ah(sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya.[32]
            Pembahasan tentang fath al-dzar‘ah tidak mendapat porsi yang banyak di kalangan ahli Ushûl al-Fiqh (Usul Fikih)Hal itu karena fath al-dzar‘ah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd al-dzar‘ah. Sementara sadd al-dzar‘ahsendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbâth hukm(penalaran hukum). Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafi’iyyah, masalah sadd al-dzar‘ah dan fath al-dzar‘ah masuk dalam bab penerapan kaedah:
            مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
            Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[33]
            Kaedah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd al-dzar‘ah dan fath al-dzar‘ah. Apa yang dimaksudkan al-dzar‘ah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafi’i adalah sekadar muqaddimah.
            H.   Cara Menentukan al-Dzar‘ah
            Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (al-dzar‘ah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:[34][34]
            1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah karena sekadar untuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga yang langgeng.
            2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK.
            I.  Penutup
            Sadd al-dzar‘ah dan fath al-dzar‘ah adalah suatu perangkat (metode penalaran) hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’ (agama)Keduanya bisa menjadi perangkat yang benar-benar bisa digunakan untuk menciptakan kemashlahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
            Daftar Pustaka
            A. Buku
            Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubâb fi Syarh al-Kitâb, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997.
            Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkâm fi Ushûl al-Ihkâm,Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.
            ______, al-Mahalli bi al-Âtsâr, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
            Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lâm al-Muwâqi’n, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.
            Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât fUshûl al-Fiqh, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.
            Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybâh wa al-Nazhâir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.
            Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl f Tahqq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994.
            Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhth, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.
            Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jâmi’ ash-Shahh al-Mukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
            Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisân al-’Arab, Beirut: Dar Shadir, tt.
            Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986.
            Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1997.
            Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
            B. Program Komputer (Kitab Digital)
            Al-Marja’ al-Akbar li at-Turâts al-Islâmiy, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt.
            Al-Maktabah al-Syâmilah, versi 2.09.
            (Dikutip dan diselaraskan dari makalah yang dimuat dalam http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/)
            [1]Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisân al-’Arab,(Beirut: Dar Shadir, tt), juz III, hal. 207.
            [2]Ibid., juz VIII, hal. 93.
            [3]Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Razzaq al-Husaini (al-Murtadha al-Zabidi), Tâj al-Arûs f Jawâhir al-Qâmûs, juz I, hal. 5219 dalam al-Maktabah al-Syâmilah, versi 2.09.
            [4]Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, hal. 93.
            [5]Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan al-Qurafi. Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan al-Qarafi.
            [6]Syihab al-Din Abu al-’Abbas al-Qarafi, Tanqh al-Fushûl f ‘Ilm al-Ushûl, dalamal-Marja’ al-Akbar li at-Turâts al-Islâmiy, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).
            [7]Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, hal. 93.
            [8]Al-Qarafi, Tanqh al-Fushûl f ‘Ilm al-Ushûl, loc. cit.
            [9]Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl f Tahqq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
            [10]Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (al-Syathibi), al-Muwâfaqat f Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257-258.
            [11]Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), hal. 347.
            [12]Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lâm al-Muwâqi’n, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), juz II, hal. 103.
            [13]Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, juz VII, hal. 249 dalam al-Marja’ al-Akbar li at-Turâts al-Islâmiy, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt.
            [14]Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubâb fi Syarh al-Kitâb,(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), juz I, hal. 465.
            [15]Contoh kasus ini dikutip dengan sedikit modifikasi dari Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 161.
            [16]Lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal. 892-893.
            [17]Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, hal. 892-893.
            [18]Ibid. hal. 889, 893, dan 899.
            [19]Lihat, Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Zhahiri, al-Ahkâm f Ushûl al-Ihkâm, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1998), juz VI, hal. 179-189.
            [20]Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Zhahiri, al-Mahalli bi al-Âtsâr, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz XII, hal. 378.
            [21]Lihat, “Dr. Elliwarti Maliki: Fiqh-Al-Mar’ah Perspektif Perempuan” dalam http://www.fatayat.or.id.
            [22]Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain al-Taimi al-Razi,Mafâtih al-Ghaib (Tafsr al-Râziy), juz II, hal. 261 dalam al-Maktabah al-Syâmilah, versi 2.09.
            [23]Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, juz II, hal. 56 dalam ibid.
            [24]Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ju’fi, al-Jâmi’ ash-Shahh al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz V, hal. 2228.
            [25]Al-Syathibi, al-Muwâfaqât, juz II, hal. 360.
            [26]Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybâh wa an-Nazhâir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hal. 176.
            [27]Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lâm al-Muwâqi’n, hal. 103.
            [28]Ibid., hal. 104.
            [29]Al-Qarafi, Anwâr al-Burûq fi Anwâ’ al-Furûq, juz VI, hal. 319 dalam al-Maktabah al-Syâmilah, versi 2.09.; al-Syathibi, al-Muwafaqât., juz II, hal. 390.
            [30]Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy., op. cit., hal. 875.
            [31]Al-Qarafi, Anwâr al-Burûq fi Anwâ’ al-Furûq., juz III, hal. 46; dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lâm al-Muwâqi’n, hal. 104.
            [32]Al-Qarafi, Anwâr al-Burûq fi Anwâ’ al-Furûq., hal. 46..
            [33]Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhth, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, tt), juz VII, hal. 358.
            [34]Lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy., hal. 879-880. (Contoh kasus pada poin kedua dari penulis sendiri).