(Bagian
2)
Oleh : Prof. Dr. Yunahar Ilyas
Di sebuah sudut kota Madinah, selalu
mangkal seorang pengemis Yahudi yang buta. Setiap orang yang mendekatinya, ia
selalu berkata “wahai saudaraku, jangan engkau dekati Muhammad yang mengaku
sebagai rosul itu. Dia gila, pembohong, dan tukang sihir. Jika kamu
mendekatinya, dia akan memengaruhimu.”
Walau sebegitu
busuk hati dan perbuatan pengemis itu, setiap pagi Rosulullah selalu membawakan
makanan untuknya. Tanpa berkata, beliau menyuapi pengemis itu. Rosulullah
melakukan hal ini hingga wafat.
Ketika Abu baker
berkunjung ke rumah Aisyah, beliau bertanya “wahai anakku, adakah sunah
Rosulullah yang belum aku kerjakan?” Aisyah menjawab, “Wahai ayah, engkau ahli
sunah, hampir tidak ada sunah yang belum ayah lakukan, kecuali setiap pagi
Rosulullah pergi ke ujung pasar dengan membawa makanan untuk seorang pengemis
Yahudi buta yang berada di sana .”
Keesokan harinya
Abu Bakar pergi ke sudut pasar dengan membawa makanan. Abu Bakar memberikan
makanan kepada sang pengemis . ketika mulai menyuapi, pengemis itu marah sambil
berteriak, “siapa kamu??” Abu Bakar menjawab “Aku orang yang biasa.” Pengemis
membantah “Engkau bukan orang yang biasa dating. Apabila orang itu datang,
tanganku tidak akan susah memegang dan mulutku tidak akan susah mengunyah.
Orang itu selalu menghaluskan makanan terlebih dahulu sebelum menyuapkan
kepadaku.”
Abu bakar tidak
dapat menahan air matanya. Ia menangis sambil berkata jujur, “Aku memang bukan
orang yang biasa datang padamu. Aku sahabatnya. Orang mulia itu telah tiada. Ia
adalah Muhammad Rosulullah SAW.” Setelah orang pengemis Yahudi itu mendengar
cerita Abu Bakar , ia menangis dan berkata, “Benarkah demikian?
Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, tetapi ia tidak pernah
memarahiku sedikitpun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia
begitu mulia.” Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya masuk islam dan
bersyahadat di hadapan Abu Bakar.
Itulah salah
satu bentuk keagungan seorang Muhammad. Kebaikkan dan ketinggian akhlaknya
tidak terbendung oleh kebencian dan cercaan. Bahkan, beda keyakinan yang
notabene merupakan hal yang paling esensial, menjadi lebur di hadapan keluhuran
hatinya. Ini sebuah cermin dan teladan yang sangat dibutuhkan ketika saling
pengertian. Toleransi, dan objektivitas menjadi barang mahal.