Tugas
Individu
Nama : Ihsan Mz
NPM : 20100720066
(Suatu Kajian Upaya Pemberdayaan)
Oleh: Hujair AH. Sanaky
1. Penadahuluan
Pendidikan pada
hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong
dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk
memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini
bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang
dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas
kehidupan maupun proses-proses pemberdayaannya. Secara ekstrim bahkan dapat
dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat,
suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh
masyarakat bangsa tersebut.
Dalam konteks
tersebut, maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah
tentu tidak terlepas dari peran-peran pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu
dan teknologi yang dicapai bangsa-bangsa di berbagai belahan bumi ini, telah
merupakan akses produk suatu pendidikan, sekalipun diketahui bahwa kemajuan
yang dicapai dunia pendidikan selalu di bawah kemajuan yang dicapai dunia
industri yang memakai produk lembaga pendidikan.
Proyeksi keberadaan dan
kenyataan pendidikan, khususnya pendidikan Islam, tentu tidak dapat dilepaskan
dari penyelenggaraannya pada masa lampau juga. Pendidikan [Islam] pada periode
awal [masa Nabi saw] misalnya, tampak bahwa usaha pewarisan nilai-nilai
diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar terbebas dari belenggu aqidah
sesat yang dianut oleh sekolompok masyarakat elite Quraisy yang banyak
dimaksudkan sebagai sarana pertahanan mental untuk mencapai status quo,
yang melestarikan kekuasaan dan menindas orang-orang dari kelompok lain yang
dipandang rendah derajatnya atau menentang kemauan kekuasaan mereka.
Gagasan-gagasan baru
yang kemudian dibawa dalam proses pendidikan Nabi, yaitu dengan
menginternalisasi nilai-nilai keimanan baik secara individual maupun kolektif,
bermaksud menghapus segala keperyaan jahiliyah yang telah ada pada saat
itu. Dalam batas yang sangat meyakinkan, pendidikan Nabi dinilai sangat
berhasil dan dengan pengorbanan yang besar, jahiliyahisme masa itu
secara berangsur-angsur dapat dibersihkan dari jiwa mereka, dan kemudian
menjadikan tauhid sebagai landasan moral dalam kehidupan manusia.
Proses pendidikan
yang dilakukan Nabi, yang aksentuasinya sangat tertuju pada penanaman nilai
aqidah [ketauhidan], keberhasilan yang dicapainya memang sangat ditunjang oleh
metode yang digunakannya. Pada proses pendidikan awal itu, Nabi lebih banyak
menggunakan metode pendekatan personal-individual. Dalam meraih perluasan dan
kemajuaannya, baru kemudian diarahkan pada metode pendekatan keluarga, yang
pada gilirannya meluas ke arah pendekatan masyarakat [kolektif].
Pengembangan
pendidikan Islam yang telah ada itu, yang pada awalnya lebih tertuju pada
pemberdayaan aqidah, diupayakan Nabi dengan menempatkan pendidikan sebagai
aspek yang sangat penting, yang tercermin dalam usaha Nabi dengan menggalakkan
umat melalui wahyu agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan
setinggi-tingginya. Masjid-masjid, pada periode awal itu, bahkan menjadi pusat
pengembangan ilmu dan pendidikan, sekalipun masih mengkhususkan pada menghafal
al-Qur’an, belajar hadis, dan sirah Nabi. Disiplin-disiplin lain seperti
filsafat, ilmu kimia, matematika, dan astrologi kemudian juga berkembang, namun
tidak dimasukkan dalam kurikulum formal. Semua disiplin ini diajarkan atas
dasar kesadaran orang tua untuk mencarikan guru demi kemajuan anaknya [Aziz
Talbani, terjemahan A. Syafii Ma’arif, 1996:2].
Pada era abad ke-20
ini, pendekatan pendidikan Islam berlangsung melalui proses operasional menuju
pada tujuan yang diinginkan, memerlukan model yang konsisten yang dapat
mendukung nilai-nilai moral-spritual dan intelektual yang melandasinya,
sebagaimana yang pertama kali dibangun Nabi. Nilai-nilai tersebut dapat
diaktualisasikan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan manusia yang dipadukan
dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada, sehingga dapat mencapai cita-cita
dan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia di segala aspek
kehidupannya. Tetapi apa yang terjadi, kondisi pendidikan Islam pada era abad
ke-20, mendapat sorotan yang tajam yang kurang menggembirakan dan dinilai
menyandang “keterbelakangan” dan julukan-julukan yang lain, yang semuanya
bermuara pada kelemahan yang dialaminya. Kelemahan pendidikan Islam dilihat
justru terjadi pada sektor utama, yaitu pada konsep, sistem, dan kurikulum,
yang dianggap mulai kurang relevan dengan kemajuan peradaban umat manusia
dewasa ini atau tidak mampu menyertakan disiplin-disiplin ilmu lain yang
relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Kenyataannya yang ada
ini, memasukkan pendidikan Islam dalam klasifikasi yang belum dapat dikatakan
telah berjalan dan memberikan hasil secara memuaskan. Hal ini mempunyai
pengertian belum mampu menjawab arus perkembangan zaman yang sangat deras,
seperti timbulnya aspirasi dan idealitas yang serba multi interes dan
berdemensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang amat beragam, serta
perkembangan teknologi yang amat pesat [Hifni Muchtar, 1992:52].
Melihat kenyataan
ini, maka tak ayal lagi bahwa pendidikan Islam perlu mendapat perhatian yang
serius dalam menuntut pemberdayaan yang harus disumbangkannya, dengan usaha
menata kembali keadaannya, terutama di Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan
melihat keterkaitan dan peranannya di dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia
yang mayoritas muslim, sehingga perlu ada terobosan seperti perubahan model dan
strategi pelaksanaannya dalam menghadapi perubahan zaman.
Usaha
penataan kembali akan memperoleh keuntungan majemuk, karena: Pertama, pendidikan
Islam subsistem pendidikan nasional di Indonesia, akan dapat memperoleh
dukungan dan pengalaman positif. Kedua, pendidikan Islam dapat
memberikan sumbangan dan alternatif bagi pembenahan sistem pendidikan di
Indonesia dengan ragam kekurangan, masalah, dan kelemahannya. Ketiga, sistem
pendidikan Islam yang dapat dirumuskan akan memiliki akar yang lebih kokoh
dalam realitas kehidupan kemasyarakatan [Suyata, 1992: 23].
2. Pendidikan Islam dan Masalahnya
Pendidikan Islam yang
bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi
mudaya, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya.
Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkungkung dalam kemunduran,
kekalahan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan,
sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam
dibandingkan dengan mereka yang non-Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila
diberi embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi kemunduran dan
keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara
lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan [Suroyo, 1991: 77].
Pandangan ini sangat
berpengaruh terhadap sistem pendidikan Islam, yang akhirnya dipandang selalu
berada pada posisi deretan kedua dalam konstelasi sistem pendidikan di
Indonesia, walaupun dalam undang-undang sistem pendidikan nasional menyebutkan
pendidikan Islam mesupakan sub-sistem pendidikan nasional. Tetapi predikat
keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam
sering “dinobat” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin.
Dalam hal ini, maka
pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini memberi kesan yang tidak
menggembirakan. Meskipun, kata Muchtar Buchori, tidak dapat dipandang sebagai
evidensi yang kongklusif dalam penglihatannya ialah kenyataan, bahwa setiap
kali ada murid-murid dari suatu lembaga pendidikan Islam yang turut serta dalam
lembaga cerdas tangkas atau lomba cepat-tepat di TVRI, maka biasanya kelompok
ini mendapatkan nilai terendah. Evidensi kedua ialah bahwa partisipasi
siswa-siswi dari dunia pendidikan Islam dalam kegiatan nasional seperti lomba
Karya Ilmiah Remaja menurut kesan saya sangat rendah, dan sepanjang pengetahuan
saya belum pernah ada juara lomba ini yang berasal dari lembaga pendidikan
Islam [Suroyo, 1991:77]. Hal ini, merupakan suatu kenyataan yang selama ini
dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam konfigurasi
sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam di Indonesia merupakan salah satu
variasi dari konfigurasi sistem pendidikan nasional, tetapi kenyataannya
pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaing dalam
membangun umat yang besar ini. Apabila dirasakan, memang terasa janggal, bahwa
dalam suatu komunitas masyarakat Muslim, pendidikan Islam tidak mendapat
kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini.
Apalagi perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah
kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan agar tetap
berada dalam lingkaran masyarakat yang sosialistis religius [Muslih Usa,
1991:11]. Maka, dari sinilah timbul pertanyaan, bagaimanakah kemampuan
pengelola pendidikan Islam mengatasi dan menyelesaikan problem-problem yang
demikian?
Realitas
pendidikan Islam pada umumnya memang diakui mengalami kemunduran dan
keterbelakangan, walaupun akhir-akhir ini secara berangsur-angsur mulai terasa
kemajuaannya. Ini terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam
dan beberapa model pendidikan yang ditawarkan. Tetapi tantangan yang dihadapi
tetap sangat kompleks, sehingga menuntut inovasi pendidikan Islam itu sendiri
dan ini tentu merupakan pekerjaan yang besar dan sulit. A. Mukti Ali,
memproyeksikan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam dewasa ini disebabkan
oleh faktor-faktor seperti, kelemahan dalam penguasaan sistem dan metode,
bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi [insight],
dan kelemahan dalam hal kelembagaan [organisasi], ilmu dan teknologi. Maka dari
itu, pendidikan Islam didesak untuk melakukan inovasi tidak hanya yang
bersangkutan dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi dan
taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, bahkan sampai menuntut
perombakan model-model sampai dengan institusi-institusinya sehingga lebih
efektif dan efisien, dalam arti paedagogis, sosiologis dan kultural dalam
menunjukkan perannya [H.M.Arifin, 1991:3].
3. Penataan Pendidikan Islam di Indonesia
Krisis pendidikan di
Indonesia, oleh H.A. Tilaar [1991] secara umum, diidentifikasi dalam empat
krisis pokok, yaitu menyangkut masalah kualitas, relevansi, elitisme dan
manajemen. Berbagai indikator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat
masalah di atas, antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi
pendidikan antara negara di kawasan Asia. Memang disadari bahwa keempat masalah
tersebut merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga
sulit dicari ujung pangkal pemecahannya [Sukamto, 1992].
Krisis ini terjadi
pada pendidikan secara umum, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru
lebih besar problematikanya. Karena itu, menurut A.Syafii Ma’arif, bahwa
situasi pendidikan Islam di Indonesia sampai awal abad ini tidak banyak berbeda
dengan perhitungan kasar di atas. Sistem pesantren yang berkembang di nusantra
dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun peradaban [A.
Syafii Ma’arif, 1996:5]. Melihat kondisi yang dihadapi, maka penataan model
pendidikan Islam di Indonesia adalah suatu yang tidak terelakkan. Strategi
pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan pendidikan yang
paling mendesak, berposisi senteral yang akan menjadi modal dasar untuk usaha
pengembangan selanjutnya. Seperti kita ketahui, bahwa lembaga-lembaga
pendidikan seperti keluarga, sekolah, dan madrasah, masjid, pondok pesantren,
dan pendidikan luar sekolah lainnya tetap dipertahankan keberadaannya.
Untuk penataan
kembali pendidikan Islam, tanpaknya perlu kita menoleh sejarah perkembangan
pendidikan Islam pada abad ke-9, di mana dunia Islam mulai mengenal sistem
madrasah yang ternyata telah menimbulkan perubahan radikal dalam sistem
pendidikan Islam. Sistem madrasah yang diorganisasikan secara formal, secara
berangsur-angsur mengalahkan pusat-pusat pendidikan yang lebih liberal. Inti
kurikulum madrasah terpusat pada al-Qur’an, hadis, fiqh, dan Bahasa Arab. Bentuk-bentuk
pengetahuan yang tidak diperoleh di madrasah seperti filsafat, kimia,
astronomi, dan matematika, dipelajari secara individual dan dalam lingkungan
yang terbatas. Bahkan disiplin-disiplin ini ditempatkan di bawah payung
disiplin lain seperti ilmu perobatan [George Makdisi, Terjemahan A. Syafii
Maarif, 1996:3]. Keberadaan lembaga pendidikan Islam yang disebutkan di atas
cukup variatif, sekalipun mungkin peran dan fungsinya masih dipertanyakan dalam
konfigurasi pendidikan nasional. Untuk itu fungsi pendidikan Islam dari lembaga
atau tempat pendidikan tersebut, perlu dirumuskan secara lebih spesifik,
efektif, dan bermutu tinggi, agar dapat menjawab tantangan yang dihadapi.
Kalau kita telaah
literatur dalam pendidikan Islam, maka diketahui bahwa fungsi dan tujuan
pendidikan Islam diletakan jauh lebih berat tanggung jawabnya bila dibandingkan
dengan fungsi pendidikan pada umumnya. Sebab, fungsi dan tujuan pendidikan
Islam harus memberdayakan atau berusaha menolong manusia untuk mencapai
kebahagian dunia dan akhirat. Oleh karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan
untuk melahirkan manusia-manusia yang bermutu yang akan mengelola dan
memanfaatkan bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiannya, yang
dilandasai pada konsep spritual untuk mencapai kebahagian akhiratnya.
Sebagaimana dikatakan
para ahli, bahwa pendidikan Islam berupaya untuk mengembangkan semua aspek
dalam kehidupan manusia yang meliputi spritual, intelektual, imajinasi,
keilmiyahan; baik individu maupun kelompok, dan memberi dorongan bagi dinamika
aspek-aspek di atas menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik
dalam hubungannya dengan al-Khaliq, sesama manusia, maupun dengan alam [H.M.
Arifin, 1987:15]. Akan tetapi pada dataran operasional, rumusan-rumusan ideal
yang dikemukakan di atas belum terjawab, sedangkan lembaga pendidikan Islam
cukup variatif dalam berusaha melendingkan konsep-konsep tersebut, namun belum
berdaya dan posisi pendidikan Islam sendiri masih terlihat begitu lemah.
Melihat kenyataan
ini, maka inovasi atau penataan fungsi pendidikan Islam, terutama pada sistem
pendidikan persekolahan, harus diupayakan secara terus menerus,
berkesinambungan, dan berkelanjutan, sehingga nanti usahanya dapat menjamah
pada perluasan dan pengembangan sistem pendidikan Islam luar sekolah. Di
samping inovasi pada sisi kelembagaan, faktor tenaga pendidikan juga harus
ditingkatkan aspek etos kerja dan profesionalismenya, perbaikan materi
[kurikulum] yang pendekatan metodologi masih berorientasi pada sistem
tradisional, dan perbaikan manajemen pendidikan itu sendiri. Untuk itu, maka
usaha untuk melakukan inovasi tidak hanya sekedar tambal sulam, tetapi harus
secara mendasar dan menyeluruh, mulai dari fungsi dan tujuan, metode, materi
[kurikulum], lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Penataan pada fungsi
pendidikan Islam, tentu dengan memperhatikan pula dunia kerja. Sebab, dunia
kerja mempunyai andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan
pribadi dan kolektif. Pembenahan pendidikan Islam dapat memilih sasaran model pendidikan
bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung di kalangan orang dewasa.
Perbaikan wawasan, sikap, pengetahuan, keterampilan, diharapkan akan
memperbaiki kehidupan sosio-kultural dan ekonomi mereka. Pilihan sasaran
berikutnya dapat ditujukan bagi pendidikan terhadap anak. Konsumsi pendidikan
dan hiburan untuk kelompok ini, belum tanpak sangat berkembang, kecuali
usaha-usaha yang secara naluriah telah diwariskan dari waktu ke waktu [Suyata,
1992:28].
Perbaikan fungsi
pendidikan Islam pada tahap lanjut, harus dilakukan menjadi satu kesatuan
dengan lembaga pendidikan Islam lainnya yang terkait erat sekali, seperti
masjid dengan kesatuan jamaahnya, madrasah/sekolah, keluarga Muslim, masyarakat
Muslim di suatu kesatuan teritorial, dan lain sebagainya. Dalam konteks
tersebut, maka sekurang-kurangnya ada empat jenis lembaga pendidikan Islam yang
dapat mengambil peran ini, yaitu pendidikan Pondok Pesantren, Masjid, Madrasah,
pendidikan umum yang bernafaskan Islam.
Dalam hal ini,
Soeroyo, menempatkan jenis lembaga pendidikan yang disebut pertama dan kedua,
sebagai lembaga pendidikan Islam yang dapat mengembangkan atau memperluas
sistem pendidikan non formalnya pada pelayanan pendidikan yang meliputi
berbagai jenis bidang misalnya, seperti bidang pertanian, peternakan,
elektronik, kesehatan, kesenian, kepramukaan, kemajuan IPTEK, pelbagai
keterampilan, kesenian dan sebagainya. Sedangkan Pondok pesantren, seharusnya
memperluas pelayanan pendidikan kepada masyarakat secara wajar dan sistematis,
sehingga apa yang disajikan kepada masyarakat, akan tetap terasa bermuara pada
pandangan serta sikap Islami, dan terasa manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari.
Begitu juga mengenai aktivitas masjidnya. Pondok Pesantren dan Masjid perlu
menggalang kerjasama dengan para ulama dan para cendekiawan Muslim yang
tergabung dalam Perguruan Tinggi yang ada di sekitarnya. Adapun peranan jenis
pendidikan yang ketiga dan keempat, yaitu pendidikan Madrasah dan Pendidikan
umum, adalah dalam upaya menemukan pembaruan dalam sistem pendidikan formal
yang meliputi metode pengajaran baik agama maupun umum yang efektif. Inovasi
dibidang kurikulum, alat-alat pelajaran, lingkungan yang mendidik, guru yang
kreatif dan penuh dedikasi dan sebagainya [Soeroyo, 1991: 77-78].
Sebenarnya sudah ada
lembaga pendidikan Islam yang menjadi sekolah favorit dan banyak diminati,
namun secara umum aspirasi masyarakat terhadap sekolah-sekolah Islam masih
rendah. Dalam banyak hal, ini kembali berkorelasi dengan ketidak berdayaan
lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memenuhi logika persaingan dalam
memenuhi tuntutan perkembangan zaman [H.M. Arifin, 1991: 99]. Atau munculnya
Madrasah Aliyah Khusus [MAK] yang dapat dikategorikan sebagai fenomena sekolah
unggulan Islam, dan betul-betul merupakan asset pendidikan Islam yang turut
berpartisipasi dalam dunia pendidikan dengan sekolah-sekolah umum lainnya.
Tetapi juga belum mendapatkan posisi yang menguntungkan dalam konfigurasi
pendidikan nasional.
Pada sisi lain,
muncul pula pendidikan luar sekolah bagi anak-anak muslim seperti TPA [Taman
Pendidikan al-Qur’an] sebagai kekuatan pendidikan Islam baru yang muncul
dengan metode dan teknik baru yang dapat menghasilkan output yang mampu
membaca al-Qur’an dalam waktu yang relatif singkat. Dapat kita saksikan produk
TPA dengan bangga diwisuda oleh seorang Menteri bahkan tidak tanggung-tanggung
oleh Presiden. Tetapi sampai saat ini belum terpikirkan tindak lanjut dari
usaha pendidikan ini, karena setelah wisuda selesailah usaha pendidikan
tersebut.
Kepincangan-kepincangan
pendidikan Islam yang dikemukakan di atas, semestinya tidak kita bicarakan
berlarut-larut. Tetapi kita harus berusaha untuk mengoreksi secara cermat
program-program pendidikan yang sedang dijalankan, sehingga pemisah antara
pendidikan Islam dengan pendidikan umum dalam konfigurasi pendidikan nasional
dapat diatasi. Tujuan dan fungsi pendidikan Islam, metode, materi [kurikulum]
harus dikoreksi dan direvisi secara berani dan membenahi keorganisasiannya
[kelembagaan], sehingga menarik minat manusia didik tanpa mengurangi
prinsip-prinsip ajaran dari sumber pokok Islam. Dengan demikian, pendidikan
Islam akan kembali solid dalam memberdayakan umat Islam di Indonesia yang
sedang menuju pada masyarakat industrial dengan berbagai tantangan etos kerja,
profesionalisme, dan moralitas. Bagaimapun juga kedekatan dengan kebenaran, dan
al-Khaliq yang dimiliki oleh ruh dan nafas pendidikan Islam,
keunggulannya harus tetap diraih dengan usaha. Atau, kita akan menerima
kemarahan Allah karena “membengkalaikan” pendidikan Islam, yang dinilai oleh
para ahli sebagai satu-satunya lembaga pendidikan yang dapat menghidupkan
keseimbangan perkembangan dalam setiap dari manusia.***
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafii
Maarif, 1996, Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai
Wawasan Pendidikan Muhammadiyah, Makalah pada Rakernas Pendidikan
Muhammadiyah di Pondok Gede, Jakarta.
HM. Arifin, 1991, Kapita
Selekta Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.
Hifni Muchtar,
1992, Fakta dan Cita-Cita Sistem Pendidikan Islam di Indonesia, UNUSIA
No. 12 Th. XIII, UII, Yogyakarta.
Muslih Usa, 1991, Pendidikan
Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta [Suatu Pengantar], Tiara Wacana,
Yogyakarta.
Suyata, 1992, Penataan
Kembali Pendidikan Islam pada Era Kemajuan Ilmu dan Teknologi, UNISIA No.
12 Th. XIII, UII, Yogyakarta.
Soeroyo, 1991, Berbagai
Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal
Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN
Suka, Yogyakarta.
H.A.R. Tilaar, 1991, Sistem Pendidikan Nasional
yang Kondusif Bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan
Pancasila, Makalah Utama Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V.
Catatan: Bagi teman-teman yang ingin tugasnya diposting di blog ini, bisa kirim filenya ke email biep458@gmail.com dengan menyertakan Nama Lengkap dan Nomor Mahasiswa atau ketemu langsung dengan saudara Muhammad Furqan Ab (20100720067) di kampus tercinta, CP: 085235554237. Jazakumullah... (Indahnya Berbagi.......)