Mewaspadai Generasi Gagap

Oleh: Dr. Khoiruddin Bashori, Pengamat dan Psikolog Pendidikan

TURUNNYA angka kelulusan ujiannasional (UN) 2010 kembali membuka luka lama. Ada yang nyaring menyalahkan UN sebagai pemasung perkembangan potensi kemanusiaan peserta didik, sampai belum terpenuhinya berbagai prasyarat yang diperlukan agar standardisasi nasional dapat diberlakukan dengan adil. Seperti diketahui, silang pendapat akhirnya memasuki ranah hukum. Diskusi soal itu menjadi berlarut-larut, tak berkesudahan.

Meskipun demikian, ada yang terlewat dari banyak perbincangan itu, yaitu lahirnya generasi gagap. Berbeda dengan Azis Gagap yang pura-pura gagap untuk menarik canda tawa pemirsa, generasi gagap adalah generasi yang tidak siap menghadapi setiap`ujian' kehidupan.

Kita harus berterima kasih kepada Azis Gagap yang sedang naik daun. Melalui Opera van Java, banyak pemirsa merasa sagat terhibur oleh gayanya yang khas, gagap. Gagap, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah gangguan bicara (kesalahan di ucapan dengan mengulang-ulang bunyi, suku kata,atau kata). Di bidang psikologi, gagap adalah kelainan wicara berupa pengulangan konsonan dan suku kata secara spasmodis, yang disebabkan adanya gangguan fisiopsikologis. Gangguan seperti ini lebih banyak terjadi pada pria. Akan tetapi, dalam penggunaannya, istilah gagap kini tidak lagi menjadi monopoli gangguan bicara. Gaptek,gagap teknologi, misalnya adalah istilah yang sekarang sering dipergunakan untuk menggambarkan ketidaksiapan seseorang di bidang teknologi informasi.

Wabah prokrastinasi
Tidak dapat dimungkiri, ketidakmampuan siswa menghadapi ujian nasional, dan berbagai tantangan kehidupan lainnya, disebabkan memang mereka kurang mempersiapkan diri secara sistematis. Kebiasaan menunda-nunda pekerjaan sepertinya sudah menjadi budaya.

Karakter demikian disebut prokrastinasi dalam kajian psikologi. Prokrastinasi berasal dari bahasa latin procastinare. Pro berarti `gerakan maju' dan crastinus berarti `milik hari esok'. Dengan demikian prokrastinasi adalah perilaku manusia yang sering menunda-nunda baik tugas maupun pekerjaan. Masalah utama dari perilaku prokrastinasi adalah problem manajemen waktu dan penetapan prioritas. Sebagian besar pelaku prokrastinasi adalah mereka yang mempunyai masalah dengan time management. Mereka tidak cakap mengelola waktu, yang semestinya merupakan hal terpenting bagi masa depan mereka sendiri. Adapun penetapan prioritas sangat penting agar siswa dapat mengatasi semua masalah atau tugas secara runtut sesuai dengan tingkat kepentingannya (Wikipedia, 2010).

Sebenarnya seseorang yang melakukan prokrastinasi tidak bermaksud untuk menghindari atau tidak mau tahu dengan tugas yang dihadapi. Mereka hanya menunda-nunda untuk mengerjakannya sehingga menyita lebih banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas. Penundaan tersebut menyebabkan dia gagal menyelesaikan tugas tepat waktu. Ellis dan Knaus mengatakan prokrastinasi merupakan kebiasaan penundaan yang tidak bertujuan dan proses penghindaran dari beban tugas, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Keadaan demikian terjadi karena seseorang merasa ketakutan untuk gagal, serta adanya pandangan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan sempurna. Jika penundaan tersebut menyangkut tugas-tugas akademik, disebut prokrastinasi akademik.

Ferrari dkk (1995) berpendapat,sebagai perilaku penundaan, prokrastinasi akademik dapat termanifestasikan dalam indikator tertentu yang dapat diukur dan diamati ciri-ciri tertentu berupa, pertama, penundaan untuk memulai atau menyelesaikan kerja pada tugas yang dihadapi. Siswa yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang dihadapi harus segera diselesaikan dan berguna bagi dirinya, tetapi dia menunda-nunda untuk mulai mengerjakannya atau untuk menyelesaikannya sampai tuntas.

Kedua, keterlambatan dalam mengerjakan tugas. Orang yang melakukan prokrastinasi memerlukan waktu yang lebih lama dalam mengerjakan suatu tugas. Siswa prokratinator menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk mempersiapkan diri secara berlebihan, melakukan hal-hal yang tidak dibutuhkan dalam penyelesaian tugas, tanpa memperhitungkan keterbatasan waktu yang dimiliki. Terkadang tindakan itu berakibat peserta didik tidak berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Ketiga, kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual. Seorang prokrastinator mempunyai kesulitan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Siswa mungkin telah merencanakan untuk mulai mengerjakan tugas pada waktu yang telah ia tentukan sendiri, tetapi ketika saatnya tiba, dia tidak juga melakukannya sesuai dengan apa yang telah direncanakan sehingga menyebabkan keterlambatan, bahkan kegagalan dalam menyelesaikan tugas secara memadai.

Keempat, melakukan aktivitas lainyang dirasa lebih menyenangkan dari pada melakukan tugas yang seharusnya.Siswa prokrastinator dengan sengaja tidak segera melakukan tugas, tetapi justru menggunakan waktu yang dimiliki untuk melakukan aktivitas lain yang dipandang lebih menyenangkan dan mendatangkan hiburan,seperti membaca (koran, majalah, atau buku cerita lainnya), menonton,mengobrol, berjalan jalan, mendengarkan musik, chatting, Facebook-an, dan main game. Untuk sementara, aktivitas 'pelarian' itu tampak seperti dapat menenangkan kegalauan, tetapi pada akhirnya justru menambah persoalan.

Kebiasaan menunda-nunda belajar,menyelesaikan tugas sekolah, tidak hanya terjadi pada siswa sekolah menengah.Penelitian Nur Lailatul Maghfiroh (2008) menunjukkan banyak mahasiswa yang sedang menyusun skripsi pun melakukan hal yang sama. Mahasiswa merasa penulisan skripsi adalah beban berat. Akibatnya kesulitan-kesulitan yang dirasakan tersebut berkembang menjadi perasaan negatif yang dapat menimbulkan
ketegangan, kekhawatiran, stres, rendah diri, frustrasi, dan kehilangan motivasi,yang dapat menyebabkan mereka menunda penyusunan skripsi mereka, bahkan ada yang mengambil keputusan untuk tidak menyelesaikannya sama sekali. Rupanya,semakin tinggi tekanan, semakin tinggi pula prokrastinasi akademik yang terjadi. Begitu pun sebaliknya, semakin rendah tekanan, semakin rendah prokrastinasi akademik. Hal tersebut terjadi karena, secara afektif, pada saat tenggat mendekat, orang sering merasa mendapatkan tekanan berat dan merasa pesimistis untuk dapat menyelesaikannya dengan baik. Pikiran yang meragukan kemampuan sendiri semakin meningkatkan peluang gagal dan menambah rasa bersalah dan stres. Penguatan karakter Dalam banyak penelitian psikologi, prokrastinasi dianggap sebagai a self-handicapping and dysfunctional behavior.

Namun, penelitian terbaru menunjukkan tidak semua prokrastinasi itu buruk dan membawa konsekuensi negatif.

Angela Hsin Chun Chu dan Jin Nam Choi (2005) menyebutnya dengan istilah active procrastination. Secara tegas, dua pakar dari Universitas Columbia dan McGill itu membedakan prokrastinasi pasif dan aktif. Prokrastinasi pasif adalah kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, gagal mengerjakan tugas pada waktunya. Prokrastinasi dalam maknanya yang tradisional. Sebaliknya, prokrastinasi aktif adalah tipe`positif' dari prokrastinator. Mereka lebih suka bekerja di bawah tekanan limit waktu, dengan sengaja memutuskan untuk menunda penyelesaian tugas, mendekati batas akhir.Hasil penelitian Chu dan Choi itu menunjukkan meski sama-sama menunda penyelesaian tugas, prokrastinator aktif memiliki hasil yang relatif sama bagusnya, seperti bukan prokrastinator, dalam hal purposive use of time,control of time, self-efficacy belief, coping styles, dan out-comes,termasuk kinerja akademik. Ini berarti, jika masih sulit menghilangkan prokrastinasi, setidaknya kita dapat belajar menjadi prokrastinator aktif.

Millon dkk (1996) menjelaskan,secara kognitif, prokrastinasi dapat disebabkan citra diri rendah, mentalitas orang yang kalah (self-defeating), sikap perfeksionis, atau kecemasan berlebih.Menurut Watson (dalam Zimberoff dan Hartman, 2001), anteseden prokrastinasi berkaitan dengan takut gagal, tidak suka pada tugas yang diberikan, menentang dan melawan kontrol, mempunyai sifat ketergantungan dan kesulitan dalam membuat keputusan. Hal tersebut, sudah barang tentu, sangat berkaitan dengan kepribadian individu. Oleh karena itu, pengembangan kepribadian menjadi sangat penting, jika kita tidak ingin melihat wabah prokrastinasi merajalela.Institusi pendidikan sudah seharusnya memberi porsi lebih pada pengembangan dan penguatan karakter positif peserta didik, dan tidak terjebak pada capaian kognitif artifisial sesaat. Sekian []